KAMPUNG HALAMAN SUAMIKU 13
"Aku tak hamil. Yang kamu lihat bukan aku, tapi makhluk yang menyerupaimu. Arna sengaja melakukan itu agar bukan kamu yang diganggu... Sedangkan aku, aku memang dikurung di sini karena mencoba mengajakmu kabur, tapi aku tertangkap oleh suamimu," ucapnya.
"Kalian berdua wanita baik. Saya rasa hanya kalian yang mampu menyelamatkan diri..." ucap ibu mertuaku.
Danisa melirikku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
"Laruni yang menyerupai ibu mertuamu adalah ratu yang sesungguhnya..."
Angin lembut perlahan menyentuh kulitku. Tubuhku seketika menegang, seakan ada belaian halus di leherku, membuat bulu kudukku meremang.
Laruni… Ibu mertuaku.
Ternyata dialah dalang dari semuanya. Tapi kenapa? Apa yang sebenarnya ia inginkan dengan menyesatkan semua orang di pulau ini?
Aku melirik Ibu mertuaku yang asli. Beliau tersenyum. Meski wajahnya tampak tua, senyum itu begitu manis dan cantik.
Dia... Benar-benar cantik.
"Dia Laruna, Ibu mertuamu yang asli. Dia adalah orang pertama yang menentang keinginan suaminya untuk menyesatkan para warga pulau ini. Pulau ini terkutuk, Malayu! Kita harus keluar sekarang juga!" lirih Danisa, menarik lenganku.
"Apa kamu bisa? Kita tak mungkin bisa keluar sebelum menghabisi Baisah!" sentakku.
Danisa melonggarkan cengkeramannya, lalu tersenyum ke arahku. Wanita itu menatapku lekat.
"Kita nggak akan bisa membunuhnya, Malayu! Baisah itu tangan kanan Laruni!" Serunya tak kalah tinggi.
Aku menggeleng, mengangkat tanganku.
"Dengan ini, kita bisa bebas!" bisikku.
Danisa terkejut menatap apa yang kugenggam.
Laruna memanggilku. Aku mendekatinya.
"Kamu dapat ini dari mana, Nak?" tanyanya lirih.
Aku menceritakan segalanya—tentang pembicaraanku dengan ibuku, bagaimana ia memberikanku pisau ini, dan janjinya untuk membawaku ke bibir pantai.
"Dan ibuku berjanji akan membawamu ke bibir pantai." Seruku, menatap Danisa.
Laruna terkekeh lalu menarik pisau yang kubalut dengan kain.
"Pisau ini tak bisa melukai Baisah, Malayu. Wanita itu menipumu!" parau suara Laruna.
Aku terkejut, begitu pula Danisa.
Danisa mendekati Laruna, matanya dipenuhi kebingungan.
"Apa kamu tahu tentang pisau itu?" Tanyaku menunjuk ke arah pisau yang tergeletak setelah Laruna membantingnya.
Laruna mengangguk. Aku dan Danisa saling berpandangan.
Jadi siapa yang harus kupercaya?
Astaghfirullah.
"Dulu, ketika aku ingin kabur, wanita yang menyerupai ibumu berkata seperti itu juga, lalu memberikan pisau yang sama padaku. Aku terlalu bodoh mempercayainya. Dengan senang hati, aku pergi ke bilik belakang untuk menantang Baisah." lirih Laruna.
"Dan kau tahu apa yang terjadi? Baisah hampir membunuhku dan membuatku mati rasa agar Laruni, ratu dari segala makhluk itu, bisa menyerupai aku. Sementara aku... dikurung selamanya di sini."
Degh.
Astaghfirullah.
Allahuakbar.
Aku menutup mulutku. Ya Allah, terima kasih Engkau masih menyayangiku. Jika tidak, sudah pasti aku mengalami nasib yang sama. Bisa saja ada makhluk yang bersiap menerkamku di balik bilik itu dengan membuka mulutnya lebar-lebar demi menelanku.
"Apa yang mereka ceritakan tak ada yang benar. Meski mereka menangis sekalipun, itu hanya bualan agar kau luluh."
"Apa yang ibumu katakan adalah dusta. Semua orang menipumu, menipuku. Tidak ada yang benar-benar nyata. Bahkan suamimu sendiri." Tekan Laruna.
"Apa Mas Arna makhluk lautan juga?" Tanyaku gugup.
Laruna terdiam. "Suamiku menikahi Laruni, membuat makhluk itu sama sepertiku. Mereka membuat benih, namanya Sri Ajeng. Itu yang dikatakan suamiku sebelum dia mengikatku selamanya di sini. Dan aku baru tahu, jika Arna di angkat suamiku sebagai anaknya. Kerap kali Arna kecil sering ke sini, sekedar memijat kakiku. Tapi... Aku tidak yakin jika dia seutuhnya manusia. Meski dia menganggapku Ibu."
"Lalu bagaimana cara menghabisi mereka? Apa yang harus kami lakukan?"
Laruna menghela napas dalam, lalu menatapku dan Danisa bergantian.
"Tak ada. Mereka tak bisa mati. Meskipun mati, akan ada makhluk lain yang menggantikan. Tugas kalian berdua hanya satu—pergi dari pulau ini sebelum fajar terbit. Jika tidak, selamanya kalian akan menjadi budak. Budak manusia dan budak suami penyerupa di lautan."
"Kami tak bisa kabur jika terkurung di sini! Bagaimana caranya keluar?" lirih Danisa.
Aku mengangguk setuju. Ruangan gelap ini tak memiliki pintu dari dalam. Semuanya sama, hanya dinding kayu. Aku heran, kenapa pintu itu tidak terlihat? Sedangkan dari luar ada?
"Pintu itu hanya bisa di buka dua puluh tahun sekali oleh manusia, benar-benar manusia. Dan Danisa sudah membukanya untuk pertama kali."
"Tapi itu berlaku untuk orang lain. Sedangkan aku memang sudah diikat selamanya di sini. Aku tidak bisa melihat pintu itu. Meski aku bisa membuka pintunya suatu saat nanti, mungkin baru melangkah, tubuhku melebur menjadi abu." Mata Laruna menghangat. Terlihat jelas sekali.
"Lalu? Pintu itu tidak ada sekarang?" Aku menggigit bibirku.
Laruna tersenyum lembut. Sekilas, senyum itu mengingatkanku pada Mas Arnawama.
Ah... rasanya aneh mencintai seseorang yang kubenci.
"Pintu itu ada..." lirihnya.
Aku dan Danisa saling tatap.
"Di mana?" kompak kami bertanya.
"Aku adalah pintunya," bisik Laruna.
"Apa kamu berbohong, Bibi?" tanyaku ragu.
"Tidak, aku berkata jujur. Sebelum suamiku mengurungku, ia bersumpah bahwa setelah aku mati, aku bisa membuka kembali pintu yang tak terlihat dengan mata telanjang."
Hatiku berdenyut nyeri. Apa sejahat ini ayah mertuaku? Ya Allah...
"Itu artinya?" lirih Danisa.
"Kalian harus melenyapkan aku terlebih dahulu agar ruh ini bisa membukakan pintu."
Aku menutup mulut, menahan tangis. Danisa berbalik.
Bugh!
Pukulan keras menghantam dinding. Danisa memukul dinding dengan keras.
Lalu, gemuruh tawa menggema.
Aku mengenali suara ini.
Baisah.
"Waktu kalian tidak banyak! Ayo... cepatlah. Lagi pula, aku sudah tua dan tak tahan lagi hidup di sini. Tak apa jika aku mati, asal kalian bisa selamat dan menyebarluaskan kabar tentang Pulau Terkutuk ini, agar para penghuni pulau tak akan mampu kembali ke dermaga mencari mangsa... Kumohon!!"
Aku menyeret tubuhku menjauh. Ini gila. Melenyapkan nyawa seseorang demi kebebasan kami? Aku tak mau...
Bahuku berguncang.
Danisa berjalan cepat, meraih kembali pisau yang teronggok di lantai. Aku menatapnya, menggeleng.
Meski kedua mata kami telah basah oleh air mata.
Laruna merentangkan kedua tangannya, tersenyum, lalu perlahan menutup matanya.
“Tidak, Danisa…!”
Srettt!
Danisa terdiam setelah langkah lebarnya terhenti. Wanita itu kini terduduk dengan tangan bersimbah darah.
Laruna memeluknya erat. Aku merangkak, menarik bahu Danisa yang berguncang.
"A-aku bukan... Aku bukan pembunuh, kan, Yu? I-ini demi kebaikan kita...!" lirih Danisa.
Aku mengangguk, meski tubuhku tak kalah syok darinya. Semuanya terjadi begitu cepat. Laruna kini terduduk dengan tubuh condong ke depan.
Aku menahan tangis, mendekati jasadnya, lalu membaringkannya dengan lebih layak.
"Terima kasih, Bibi... Terima kasih sudah berkorban untuk kami. Tidurlah yang nyenyak. Aku janji padamu... Tak akan ada lagi korban selanjutnya setelah ini. A-aku janji." bisikku.
Krieeettt
Pintu perlahan terbuka. Aku tahu, Laruna belum benar-benar pergi. Ia menepati ucapannya untuk membukakan jalan bagi kami.
Aku menarik tubuh Danisa. Aku tahu dia masih syok.
"Ayo! Kita harus pergi!"
Serrrr
Angin seakan menepi saat kami berhasil keluar dari ruang jahanam itu.
Danisa membuang pisau berlumur darah ke depan pintu yang kini menganga. Tangannya masih bergetar.
"Kita pergi sekarang." Pintaku.
Danisa mengangguk pelan.
Perlahan, langkah kami bergerak mengendap-endap. Kami memutuskan untuk lewat belakang. Aku melirik bilik kayu di samping—terasa seakan ada yang memperhatikan. Namun, aku mengabaikannya dan memilih mempercepat langkah.
Danisa menggenggam jemariku erat.
Deru ombak mulai terdengar. Malam semakin larut. Aku heran, kenapa waktu di sini terasa begitu cepat? Apa karena kami berdampingan? Rasanya tak masuk akal.
"Kenapa?" Tanyaku saat melihat Danisa tiba-tiba berhenti saat kami melewati gang menuju rumahnya.
"Ibuku masih di rumah! Aku harus menyusulnya!" lirihnya cemas.
Aku segera menarik tangannya dan menggeleng.
"Kita bisa kehabisan waktu, Danisa! Malam ini malam jamuan, malam Senin! Di penampungan perahu, tak ada satu pun orang! Ini waktu yang tepat!"
Danisa membelalak lalu menghentakkan tangannya.
"Kau gila, hah?! Dia yang menyelamatkan hidupku! Aku akan membawanya! Jika kamu tak mau menunggu, silakan pergi sendiri!" bentaknya sebelum berbalik.
Aku menghela napas, memandang ke kejauhan. Perahu-perahu tersusun rapi di tepi pantai, begitu dekat, namun terasa jauh.
Tidak, aku tak mungkin pergi seorang diri.
Langkahku cepat mengejar Danisa. "Di mana ibumu?" tanyaku sesaat setelah kami tiba di rumahnya.
Danisa melangkah masuk, tapi rumah itu kosong.
"Mungkin di belakang!" ucapnya sambil berjalan menuju pintu belakang.
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "KAMPUNG HALAMAN SUAMIKU 13"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker