Saat Clara Hermosa tiba di bandara Negara Latvin, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Begitu dia membuka ponselnya, dia menerima sekelompok ucapan selamat ulang tahun.
Semuanya dari teman dan rekan kerjanya.
Tapi tidak ada kabar sama sekali dari Edward Anggasta.
Senyum Clara pun memudar.
Ketika dia tiba di vila, sudah jam 10 lebih.
Saat Bibi Sari melihatnya, dia tertegun sejenak. “Bu Clara, kenapa Ibu... bisa datang ke sini?”
“Di mana Edward dan Elsa?”
“Pak Edward belum pulang, Nona Elsa masih main di dalam kamar.”
Clara pun memberikan barangnya pada Bibi Sari, tapi saat di lantai atas dia melihat Elsa Anggasta yang memakai baju tidur, tampak duduk di meja kecil, entah sedang memukul apa, tapi dia sangat serius, hingga bahkan tidak tahu ada orang yang masuk ke kamarnya.
“Elsa?”
Saat Elsa dengar suara ini, dia langsung berbalik dan menyebut dengan riang, “Mama!”
Lalu, dia kembali membalikkan badan dan lanjut memukul barang di tangannya.
Clara lalu mendekat dan memeluknya, saat dia hampir menciumnya, dia didorong oleh Elsa. “Mama, aku lagi sibuk.”
Clara sudah dua bulan tidak bertemu anaknya, jadi dia rindu padanya, tentu saja ingin menciumnya, dan berbicara dengan putrinya itu.
Melihatnya begitu serius, dia juga tidak mau mengganggunya. “Seminggu lagi, Tante Vanessa berulang tahun, ini hadiah yang aku dan Ayah siapkan untuk dia! Kulit kerang ini buatan aku dan ayah sendiri pakai mesin, cantik ‘kan?”
Clara merasa tenggorokannya tercekat, sebelum dia menjawab, putrinya yang masih memunggunginya pun lanjut berkata, “Ayah juga sudah siapkan hadiah lain untuk Tante Vanessa, besok—“
Hati Clara tercekat, dia tidak tahan lagi, “Elsa... masih ingat ulang tahun Ibu?”
“Ha? Apa?” Elsa menatapnya, lalu tunduk kembali dan menatap untaian manik-manik, sambil menggerutu, “Sudah kubilang jangan bicara denganku dulu, susunan manik-manikku jadi berantakan—“
Clara melepaskan tangan yang tadi sedang memeluk putrinya, dan tidak berbicara lagi.
Dia berdiri diam begitu lama, melihat putrinya bahkan tidak melihatnya, Clara mengatup erat bibirnya, lalu pergi dalam diam.
Bibi Sari melihatnya, lalu berkata, “Bu Clara, tadi aku sudah telepon Pak Edward, dia bilang malam ini dia ada urusan, jadi dia minta Anda tidur duluan.”
“Oke.”
Clara menjawab pendek, teringat perkataan putrinya tadi, dia tertegun, dan menelepon Edward.
Setelah berdering sejenak telepon itu diangkat, tapi suaranya terdengar begitu tenang, “Aku masih ada urusan, besok saja—“
“Edward, ini sudah malam, siapa itu?”
Itu suara Vanessa Gori.
Clara menggenggam ponselnya erat-erat.
“Nggak apa.”
Sebelum Clara selesai bicara, Edward langsung mematikan telepon.
Mereka sudah 3 bulan tidak ketemu, hari ini akhirnya dia pulang ke Negara Latvin, tapi Edward malah tidak mau segera pulang, bahkan dengar teleponnya pun, dia tidak mau.
Setelah nikah begitu lama, Edward selalu gini padanya, dingin, menjauh, dan tidak sabar.
Sebenarnya dia sudah terbiasa.
Kalau dulu, dia pasti akan telepon Edward lagi, lalu dengan sabar menanyakan keberadaannya, dan apa dia bisa pulang.
Akan tetapi mungkin hari ini dia kelelahan, jadi tidak ada tenaga untuk melakukan ini.
Keesokan paginya begitu bangun, dia berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk menelepon Edward lagi.
Negara Latvin dan Negara Marola memiliki perbedaan 17 hingga 18 jam, jadi di Negara Latvia, hari ini barulah ulang tahunnya.
Kali ini tujuannya pulang ke Negara Latvin, selain ingin bertemu Edward dan Elsa, dia juga berharap di hari yang spesial ini, mereka bisa berkumpul, dan makan bersama.
Ini adalah doanya dalam ulang tahun kali ini.
Edward tidak mengangkat teleponnya.
Setelah begitu lama, dia baru mengirim sebuah pesan.
[Ada apa?]
Clara: [Siang ini ada waktu? Aku bawa Elsa, kita makan bareng yuk?]
[Oke, beri tahu aku setelah tahu lokasinya.]
Clara: [Oke.]
Setelah itu, Edward tidak membalas lagi.
Dia tidak teringat hari ini ulang tahunnya.
Meski Clara sudah mempersiapkan hatinya, tapi dia tetap merasa kecewa.
Setelah mandi, dia bersiap turun ke bawah, tapi saat ini dia mendengar suara putrinya dan Bibi Sari.
“Bu Clara sudah pulang, Nona Elsa nggak senang?”
“Aku dan Ayah sudah setuju mau main di pantai bersama Tante Vanessa, tapi ibu mendadak pulang, kalau dia mau ikut kami pergi, suasananya pasti nggak enak.”
“Ibu juga jahat banget, selalu nggak suka Tante Vanessa—“
“Nona, Bu Elsa itu ibumu, nggak boleh bilang gitu, nanti Bu Clara jadi sedih oke?”
“Aku tahu, tapi aku dan Ayah memang lebih suka sama Tante Vanessa, apa Tante Vanessa nggak bisa jadi ibuku saja?”
“...”
Jawaban Bibi Sari selanjutnya, tidak terdengar Clara lagi.
Itu adalah putri yang dibesarkannya sendiri, tapi setelah bersama ayahnya selama 2 tahun, dia malah jadi lebih dekat pada ayahnya, tahun lalu Edward datang ke Negara Latvin untuk buka cabang, tapi putrinya malah mau ikut juga.
Dia tidak rela, dia tentu ingin putrinya tetap di sisinya.
Tapi dia tidak tega lihat anaknya sedih, jadi dia setuju.
Tidak disangka...
Seperti dipaku di lantai, Clara berdiri tegak, wajahnya pucat, tidak bisa bergerak sama sekali.
Kali ini dia melepaskan pekerjaannya untuk datang ke Negara Latvin, karena dia ingin menemani putrinya.
Tapi tampaknya, tidak perlu lagi.
Clara kembali ke kamarnya, lalu menyimpan kembali hadiah yang dia bawa dari Negara Marola, ke dalam kopernya.
Beberapa saat kemudian, Bibi Sari meneleponnya, mengabari bahwa dia bawa Elsa keluar main, meminta Clara meneleponnya kalau ada urusan.
Clara duduk di atas tempat tidur, merasa hampa dan bingung.
Dia secara khusus melepaskan pekerjaannya untuk kemari, tapi akhirnya tidak ada yang benar-benar butuh dia.
Kedatangannya, membuatnya terlihat bodoh.
Setelah beberapa saat, dia keluar rumah.
Dia berjalan tanpa arah di negara yang asing tapi familier ini.
Saat mendekati siang, dia baru teringat, sebelumnya dia mengajak Edward makan siang.
Dia lalu teringat perkataan yang dia dengar tadi pagi, saat dia sedang ragu apakah mau pergi jemput putrinya, dia tiba-tiba menerima pesan dari Edward.
[Siang ini ada urusan, makan siangnya batal.]
Clara menatapnya lama, tidak terkejut sama sekali.
Karena dia sudah terbiasa.
Di hari Edward urusan kantor ataupun janji dengan temannya... semuanya lebih penting dari istrinya.
Walau sudah janji dengannya, Edward bisa membatalkannya sesuka hati.
Sama sekali tidak memikirkan perasaannya.
Lalu apa dia merasa kecewa?
Dulu mungkin iya.
Tapi sekarang dia sudah kebal, tidak ada rasa sama sekali.
Clara makin bingung.
Dia datang dengan senang, tapi baik suaminya, ataupun putrinya, semua dingin padanya.
Tanpa disadari, mobil yang dia kendarai tiba di sebuah restoran yang sering dikunjunginya bersama Edward.
Saat dia baru mau masuk, dia melihat Edward, Vanessa dan Elsa di dalam restoran itu.
Vanessa dan putrinya duduk di sisi yang sama dengan mesra.
Sembari bicara dengan Edward, dia bermain dengan Elsa.
Elsa tampak mengayunkan kakinya dengan senang, bermain dengan Vanessa, sambil memakan kue bekas gigitan Vanessa.
Edward menyendokkan makanan untuk mereka sambil tersenyum, tatapannya terus tertuju pada Vanessa yang ada di depannya, seakan di matanya hanya ada dia.
Inilah urusan yang dibilang Edward.
Ini juga adalah putri yang dia lahirkan dengan susah payah setelah mengandung selama 9 bulan.
Clara tersenyum getir.
Dia hanya bisa berdiri menatap mereka.
Setelah setengah jam, dia memalingkan wajahnya, membalikkan badan dan pergi.
Setelah kembali ke vila, Clara menyiapkan sebuah surat cerai.
Edward adalah impiannya saat dia masih muda, tapi Edward tidak mau menikahinya.
Dirinya yang dulu dengan bodohnya mengira, asalkan dia berusaha keras, dia pasti bisa masuk ke dalam hatinya.
Tapi kenyataan malah menghantamnya dengan keras.
Sudah hampir 7 tahun.
Ini saatnya sadar.
Dia memasukkan surat cerai itu ke dalam amplop, meminta Bibi Sari memberikannya pada Edward, lalu menarik kopernya ke dalam mobil, dan memerintahkan supirnya, “Ke bandara.”
###11717509###
Bab 2
Sekitar jam 9 malam, Edward dan putrinya pun pulang.
Elsa memegang ujung pakaian Edward, dan turun dari mobil dengan perlahan.
Karena ibunya ada di rumah, malam ini dia sebenarnya tidak mau pulang.
Tapi Tante Vanessa bilang ibunya itu pulang secara khusus untuk menemani dia dan ayahnya, jadi kalau mereka tidak pulang, ibunya bisa sedih.
Ayah bilang kalau malam ini mereka tidak pulang, besok ibunya pasti akan ikut mereka ke pantai.
Jadi dia terpaksa setuju pulang.
Tapi dia tetap khawatir, dan bertanya dengan sedih, “Ayah, gimana kalau Ibu besok memaksa mau ikut kita keluar?”
“Nggak akan.” Edward menjawab dengan yakin.
Selama menikah, Clara memang selalu ingin mendekatinya.
Tapi dia masih paham situasi, asalkan dia terlihat tidak senang, Clara langsung tidak akan berani membuatnya marah.
Dalam ingatan Elsa, Clara selalu patuh pada Edward.
Kalau dia bilang tidak akan, berarti memang tidak akan.
Elsa akhirnya bisa tenang.
Suasana hatinya pun membaik, mukanya yang tadi cemberut langsung berubah, dia masuk sambil melompat riang, dan mengatakan pada Bibi Sari bahwa dia mau mandi.
“Oke deh.” Bibi Sari langsung menjawab. Tiba-tiba dia teringat perkataan Clara, dan memberikan amplop itu pada Edward, “Pak Edward, Bu Clara suruh aku berikan ini pada Anda.”
Edward menerimanya, lalu bertanya, “Di mana dia?”
“Em... sore tadi Bu Clara beresin barang dan sudah pulang ke Negeri Marola, Anda nggak tahu?”
Edward yang barusan mau beranjak ke lantai atas langsung tertegun, lalu menoleh, “Pulang?”
“Iya.”
Bahkan, Edward belum sempat mendengar alasan kenapa Clara mendadak datang ke Negara Latvin.
Tapi dia tidak peduli.
Setelah tahu Clara sudah pulang, dia tidak memedulikannya.
Elsa hanya agak terkejut.
Saat mendengarnya, hatinya agak kecewa.
Awalnya dia mengira, kalau Ibu besok tidak ikut dia dan ayahnya bermain di pantai, malamnya dia bisa ditemani ibunya, rasanya lumayan juga.
Apalagi, saat memoles kulit kerang tangannya pasti sakit, jadi dia ingin minta ibunya bantu dia selesaikan!
Edward dan Clara sudah beberapa bulan tidak ketemu, Clara akhirnya ada waktu untuk datang, tapi dia bahkan tidak bertemu Edward sama sekali, jadi teringat wajah Clara tampak muram saat dia beranjak pergi, Bibi Sari tidak tahan dan mengingatkan, “Pak Edward, saat Bu Clara pergi, raut wajahnya nggak bagus, sepertinya dia marah.”
Sebelumnya Bibi Sari mengira bahwa Clara ada urusan mendadak, makanya mendadak pulang.
Tapi sekarang setelah tahu Edward sama sekali tidak tahu Clara sudah pulang, dia baru menyadari ada yang tidak beres.
‘Marah?’
Di depan Edward, Clara selalu terlihat baik dan toleran.
Ternyata dia juga bisa marah?
Ini menarik.
Edward tersenyum acuh tak acuh, lalu dengan tenang menjawab Bibi Sari dan naik ke lantai atas.
Ketika kembali ke kamarnya, dia hendak membuka amplop pemberian Clara, tapi, Vanessa tiba-tiba meneleponnya, Edward pun mengangkat telepon, melempar amplop itu dengan asal-asalan, lalu keluar dari rumah.
Beberapa saat kemudian, amplop itu jatuh dari tempat tidur ke lantai.
Pada malam itu, Edward tidak pulang ke rumah.
Keesokan harinya, Bibi Sari naik ke atas untuk bersih-bersih, tapi dia melihat amplop di lantai, dan sadar bahwa itu adalah amplop yang ingin diberikan Clara pada Edward.
Dia mengira Edward sudah melihatnya, jadi dia simpan amplop itu di dalam laci.
.....
Setelah turun dari pesawat dan tiba di rumah, dia langsung pergi ke lantai atas untuk membereskan barangnya.
Karena sudah 6 tahun bersama, di kamar ini ada banyak barang miliknya.
Tapi dia hanya membawa pergi beberapa helai baju, dia set kebutuhan sehari-hari dan beberapa buku profesional.
Setelah nikah, setiap bulan Edward akan memberi biaya hidup untuk dia dan anaknya.
Keduanya terbagi menjadi dua kartu.
Satu miliknya, dan satu lagi milik anaknya.
Tapi Clara biasanya selalu pakai uangnya sendiri untuk beli kebutuhan sehari-hari.
Jadi kartu anaknya tidak terpakai sama sekali.
Bahkan, karena cintanya pada Edward, setiap berbelanja, dan melihat baju, sepatu, kancing manset, dasi, dan sebagainya, dia selalu tidak tahan dan membelinya.
Sementara dirinya sendiri, karena pekerjaannya, pengeluarannya tidaklah tinggi, apalagi dia sangat menyayangi suami dan anaknya, ingin memberikan yang terbaik untuk mereka, jadi, biaya hidup yang diberi Edward, sebagian besar dipakai untuk beli barang suami dan anaknya.
Oleh karena itu, sisa uang di dalam kartu itu harusnya sudah tidak banyak lagi.
Tapi, dalam 1 tahun ini, karena anaknya ikut ke Negara Latvin bersama Edward, dia jadi jarang beli barang untuk mereka.
Jadi dalam kartu ini masih ada sisa 6 jutaan.
Uang gini bukanlah apa-apa bagi Edward, tapi baginya itu bukan uang kecil.
Karena itu memang miliknya, Clara tidak segan lagi, dia langsung mengambil uang itu.
Kemudian, dia meninggalkan kartu itu dan pergi sambil menarik kopernya, sama sekali tidak menoleh lagi.
Dia punya sebuah rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.
Memang tidak besar, lebih dari 100 meter persegi.
Empat tahun lalu, dia membeli rumah ini demi membantu karir temannya yang kabur dari rumah, tapi tempat ini tidak pernah dia tinggali.
Sekarang akhirnya bisa terpakai.
Sebelumnya rumah ini selalu dibersihkan orang setiap waktu tertentu, jadi tidak kotor, bisa ditinggali setelah dibersihkan sedikit.
Setelah seharian capek, pada pukul 10 malam, selesai mandi Clara pun istirahat di kamar.
“Ting ting, Ting ting, Ting ting—“
Sebuah suara yang keras terdengar, membangunkan Clara dari tidurnya.
Karena mendadak terbangun, Clara agak melamun.
Setelah kesadarannya memulih, dia baru teringat, ini sudah jam 1 malam, yaitu sekitar jam 7 pagi di Negara Latvin tempat Edward dan anaknya berada.
Edward dan anaknya biasanya sarapan di jam ini.
Sejak putrinya ikut Edward ke Negara Latvin, dia selalu menelepon putrinya di jam ini.
Hanya saja, biasanya dia kelelahan bekerja, jadi terbiasa tidur cepat, tapi karena takut melewatkan waktu untuk ngobrol dengan putrinya, jadi dia mengatur alarm ini.
Saat awal ikut Edward ke Negara Latvin, putrinya tidak terbiasa, dan sangat merindukannya, bahkan sering meneleponnya.
Tapi seiring waktu berlalu, setiap kali ditelepon, putrinya yang awalnya rindu padanya, berubah menjadi tidak sabar.
Alarm ini pun, sebenarnya sudah tidak diperlukan sejak awal.
Tapi dia sendiri yang tidak rela.
Setelah memikirkan ini, Clara tersenyum getir.
Setelah memikirkan beberapa saat, Clara menghapus alarm ini, mematikan ponsel dan tidur.
Di sisi lain.
Edward dan Elsa hampir selesai sarapan.
Meski Edward tahu bahwa setiap hari Clara selalu telepon anaknya, dia juga jarang berada di rumah, jadi tidak begitu peduli.
Hari ini dia sadar Clara tidak menelepon, tapi, dia tidak peduli, setelah sarapan, dia naik ke lantai atas untuk mengganti baju.
Sementara Elsa merasa Clara semakin ribut, jadi dia makin benci mendengar teleponnya.
Jadi saat melihat Clara tidak meneleponnya sampai sekarang, dia merasa mungkin Clara sedang ada urusan.
Dia memutar bola matanya, mengambil tasnya dan berlari keluar.
Bibi Sari yang melihatnya, langsung mengejarnya, “Nona Elsa, ini masih pagi, perginya agak siang pun masih sempat kok!”
Elsa tidak mau dengar, dia langsung berlari menuju mobil dengan riang.
Enak saja, jarang-jarang Ibu hari ini ada urusan dan tidak telepon.
Kalau dia tidak segera keluar, nanti kalau ibunya telepon, dia pasti harus ngobrol dengannya lagi, dia tentu tidak mau!
.....
Setelah nikah, Clara pun mulai bekerja di Anggasta Group.
Dulu dia masuk ke Anggasta Group juga demi Edward.
Tapi sekarang dia sudah mau cerai, tidak perlu lanjut bekerja di Anggasta Group lagi.
Keesokan paginya, begitu tiba di kantor, Clara langsung memberikan surat pengunduran diri pada Farel Timothy.
###11717510###
Bab 3
Farel adalah salah satu sekretaris pribadi Edward.
Melihat surat pengunduran dirinya, dia tentu terkejut.
Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu hubungan Edward dengannya.
Semua orang dekat Edward tahu, Edward tidak menyukainya.
Setelah nikah, Edward sangat dingin pada Clara, bahkan juga jarang pulang ke rumah.
Agar bisa mendekati Edward, Clara pun bekerja di Anggasta Group.
Tujuan awalnya adalah menjadi sekretaris pribadi Edward.
Tapi Edward tidak setuju.
Meski kakeknya memintanya, pria itu tetap kukuh dengan pendiriannya.
Pada akhirnya, Clara terpaksa harus puas berada di divisi sekretariat menjadi salah satu sekretaris biasa Edward.
Awalnya, Farel khawatir Clara akan mengacaukan divisi sekretariat.
Tapi nyatanya, sungguh di luar dugaan.
Meski Clara menggunakan posisinya untuk mendekati Edward, tapi dia juga paham situasi, tidak akan bertindak keterlaluan.
Sebaliknya, mungkin agar Edward terkesan, Clara sangat serius dalam bekerja, kemampuannya sangat menonjol. Baik saat hamil, melahirkan atau situasi lainnya, dia selalu mematuhi peraturan perusahaan, tidak pernah meminta perlakuan khusus.
Beberapa tahun kemudian, Clara menjadi kepala di divisi sekretariat.
Farel tahu betul bagaimana perasaan Clara terhadap Edward.
Sejujurnya, dia tidak menyangka Clara akan mengundurkan diri.
Dia juga tidak percaya wanita itu akan mengundurkan diri dengan sukarela.
Dia bisa mengundurkan diri kali ini, mungkin karena terjadi sesuatu antara Edward dan Clara yang tidak diketahuinya, hingga Edward meminta Clara untuk mengundurkan diri.
Kinerja Clara sangat baik, tapi meski sangat disayangkan, Farel tetap harus bersikap profesional, “Aku terima surat pengunduran ini. Aku bakal atur orang buat ambil alih pekerjaanmu secepat mungkin.”
“Baik.”
Clara mengangguk, lalu kembali ke tempat kerjanya.
Setelah sibuk seharian, Farel lantas memberi laporan perusahaan secara langsung pada Edward melalui panggilan video.
Saat hampir selesai, tiba-tiba dia teringat pengunduran diri Clara, “Oh iya Pak, mengenai —”
Meski dirinya berkata pada Clara akan secepat mungkin mengatur seseorang untuk mengambil alih pekerjaannya, tapi Farel tetap harus minta pendapat Edward tentang kapan Clara boleh pergi dari perusahaan.
Semisal Edward ingin mulai besok, Farel akan mengaturnya segera.
Tapi saat ingin menyampaikannya, dia teringat saat Clara bergabung dengan perusahaan untuk pertama kalinya, Edward menegaskan, segala hal yang berhubungan dengan Clara di perusahaan harus ditangani sesuai dengan peraturan perusahaan, tidak perlu melaporkan secara khusus pada Edward.
Edward tidak akan memedulikan wanita itu.
Kenyataannya memang begitu.
Selama bertahun-tahun, di dalam perusahaan, Edward tidak pernah bertanya tentang Clara.
Tiap kali melihat Clara, Edward selalu memperlakukannya layaknya orang asing.
Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja Clara luar biasa, jadi dua tahun lalu mereka berencana akan mempromosikan Clara, hanya saja saat mengingat Edward tidak menyukai Clara, mereka sengaja membahasnya di depan pria itu.
Dengan maksud jika dia tidak senang, mereka tidak akan mempromosikannya.
Saat mendengar itu, Edward langsung mengerutkan keningnya, lalu dengan kesal kembali menegaskan, dia tidak akan ikut campur, atasi saja sesuai aturan perusahaan.
Dia juga menambahkan bahwa semua hal berhubungan dengan Clara di perusahaan ini, tidak perlu tanya padanya.
Melihat Farel tidak berbicara, Edward mengerutkan keningnya, “Ada apa?”
Farel buru-buru saat tersadar dari lamunannya, dan menjawab, “Nggak apa.”
Karena masalah pengunduran diri Clara sudah diketahui Edward, tapi Edward tetap tidak mau mendiskusikannya dengannya, berarti bagi Edward hal ini tidak penting.
Dia hanya perlu bertindak seperti biasa, atasi sesuai aturan perusahaan.
Memikirkan ini, Farel pun tak lagi berkata apa-apa.
Edward mengakhiri panggilan video.
….
“Lagi mikirin apa?”
Siang harinya, seorang rekan kerja tiba-tiba menepuk bahu Clara.
Clara pun tersadar dari lamunannya, lalu tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, “Nggak mikirin apa-apa.”
“Hari ini nggak telepon putrimu?” tanya rekan itu.
“Ya, nggak perlu lagi.”
Biasanya dia akan menghubungi putrinya dua kali dalam sehari.
Sekali pada pukul satu dini hari, dan sekali lagi sekitar pukul dua belas siang.
Semua rekan di kantornya tahu tentang hal ini.
Hanya saja, mereka tidak tahu bahwa ayah dari putrinya itu adalah pimpinan tertinggi di perusahaan mereka bekerja.
Sepulang kerja, Clara pergi ke pasar membeli sedikit sayuran dan beberapa pot tanaman untuk dibawa pulang.
Selesai menyantap makan malam, dia mulai mencari informasi terkait pameran teknologi.
Setelah melihatnya, Clara langsung menelepon seseorang, “Untuk pameran teknologi bulan depan, siapkan satu tiket.”
“Kamu yakin?” jawab orang itu dengan nada dingin, “Sudah dua kali kamu ngomong begitu, tapi kamu nggak pernah datang, tiket yang diidamkan semua orang itu kamu biarkan berakhir sia-sia.”
Pameran tahunan sains dan teknologi Negara Marola merupakan acara besar dalam industri teknologi, tidak semua orang bisa mendapatkan tiket masuk untuk pameran tersebut.
Perusahaan mereka juga mendapatkan beberapa kuota untuk menghadiri pameran tersebut, dan ada begitu banyak pegawai handal yang ingin hadir.
Bagi mereka, setiap kuota yang diberikan sangatlah berharga.
“Kalau kali ini nggak datang lagi, aku nggak akan minta lagi.”
Pria itu hanya terdiam, lalu mematikan telepon.
Tapi Clara tahu, ini artinya pria itu setuju.
Senyum merekah terpancar di wajah Clara.
Sebenarnya, dia belum bilang, bahwa dia ingin kembali ke perusahaan.
Sebagai mitra di perusahaan itu, Clara memilih untuk menikah dan memiliki anak ketika perusahaan baru saja berdiri, dia mengundurkan diri dari perusahaan, dan memilih fokus pada keluarga, tentu saja rencana pengembangan perusahaan mereka jadi terganggu, hingga membuat perusahaan kehilangan banyak peluang.
Semua orang kesal dan marah padanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, bisa dibilang mereka tidak pernah saling berkomunikasi.
Clara memang ingin kembali ke perusahaan itu, tapi setelah menikah dia hanya fokus pada keluarga.
Jadi bisa dibilang dia sudah terlalu lama meninggalkan lingkaran itu.
Clara khawatir jika kembali ke perusahaan tanpa persiapan apa pun, dia tidak akan mampu mengimbangi ritme mereka.
Oleh karena itu, dia berencana meluangkan waktu untuk memahami situasi industri terkini, sebelum akhirnya membuat keputusan final.
Dalam beberapa hari berikutnya, Clara bekerja sebagaimana mestinya, lalu sepulang kerja dia menyibukkan diri dengan urusannya.
Clara tidak lagi menghubungi putrinya dan juga Edward.
Begitu pula sebaliknya.
Mengenai ini sih, Clara tentu tidak terkejut lagi.
Sejak setengah tahun lalu, menghubungi mereka sudah menjadi keinginannya sepihak.
Mereka hanya terpaksa menerimanya saja.
…..
Negara Latvin.
Saat ini Elsa mempunyai kebiasaan baru yaitu menelepon Vanessa di pagi hari.
Hari ini sama seperti sebelumnya, begitu terbangun, dia langsung menelepon Vanessa.
Namun setelah mengobrol sebentar dengan Vanessa, terdengar suara sesenggukan.
Itu dikarenakan Vanessa memberinya kabar buruk.
“Tante Vanessa mau pulang ke Marola!”
Elsa merasa sangat sedih, selesai mengobrol dengan Vanessa, dia segera menelepon Edward,
“Halo Ayah, apa Ayah tahu soal ini?”
Di dalam perusahaan, Edward membolak-balik dokumen, “Tahu.”
“Kapan Ayah tahu?”
“Sudah lama.”
“Ayah! Ayah jahat banget… ” Elsa tampak memeluk boneka kuda poni dan menangis sedih, “Kenapa aku nggak dikasih tahu? Aku nggak mau Tante Vanessa pergi, aku juga nggak mau sekolah di sini kalau nggak ada Tante Vanessa, aku mau pulang, huhuhu... “
Edward lantas berkata dengan tenang, “Semua sudah diproses.”
Elsa tidak mengerti, “Apa, apa maksudnya?”
“Minggu depan kita pulang ke Marola.”
###11717511###
Bab 4
Elsa langsung melompat dari atas kasur sambil menyahut, “Beneran, Yah?”
“Ya.”
“Tapi kenapa tadi Tante Vanessa nggak kasih tahu aku?”
“Ayah baru memutuskannya, belum sempat memberitahunya.”
Elsa kegirangan, “Kalau gitu Ayah jangan kasih tahu Tante Vanessa, setelah pulang, kita kasih kejutan buat Tante Vanessa oke?!”
“Ya.”
“Ayah memang yang terbaik! Sayang banget deh!”
Setelah telepon ditutup, Elsa masih tampak kegirangan, bernyanyi dan melompat di atas kasur.
Setelah beberapa saat, tiba-tiba dia teringat Clara.
Beberapa hari terakhir, ibunya tidak menelepon, jadi suasana hatinya sangat bagus.
Sebenarnya, agak tidak ngobrol dengan ibunya di telepon, beberapa hari lalu dia sengaja keluar rumah lebih awal, sepulang sekolah dia bahkan sengaja menaruh ponselnya jauh-jauh atau bahkan mematikannya.
Setelah dua hari melakukannya, Elsa menghentikannya, dia khawatir ibunya akan marah jika mengetahuinya.
Tapi tidak disangka, selama beberapa hari berikutnya ibunya tak kunjung meneleponnya.
Awalnya, dia mengira ibunya tahu bahwa dia menghindarinya.
Tapi setelah dipikir-pikir, berdasarkan pengalaman sebelumnya, jika dia melakukan kesalahan, ibunya akan langsung menegurnya, tidak akan mengabaikannya.
Bagaimanapun, dirinya adalah sosok penting di hati ibunya, ibunya paling menyayanginya, jadi mustahil ibunya tidak menelepon hanya karena marah padanya!
Saat memikirkan semua itu, tiba-tiba muncul sedikit kerinduan di hati kecil Elsa.
Ini adalah kali pertama dia merindukan ibunya, Clara.
Dia tak kuasa menahan diri untuk menelepon ibunya.
Tapi saat baru saja menekan layar ponsel, dia tiba-tiba teringat, meski setelah pulang negeri dia bisa bertemu Tante Vanessa lagi, tapi dengan sifat ibunya, ibunya pasti akan menghalanginya, tidak mengizinkan dia bertemu Tante Vanessa.
Dia tidak akan sebebas di Latvin, kapan pun bisa bertemu dengan Vanessa.
Begitu memikirkan ini, suasana hati Elsa langsung memburuk.
Di sisi belahan Marola sekarang ini masih pagi dini hari.
Clara sudah tertidur.
Dia terbangun karena panggilan telepon Elsa.
Begitu terbangun dan melihat nama Elsa di layar ponselnya, Clara langsung bersiap mengangkatnya, tapi malah dimatikan Elsa karena marah.
Dalam surat cerai sebelumnya dia memang menyebutkan bahwa Clara menyerahkan hak asuh Elsa pada Edward, tapi Elsa tetap adalah putri semata wayangnya.
Sebagai ibunya, dia masih memiliki tanggung jawab.
Saat melihat Elsa meneleponnya, dan langsung mematikannya, Clara pun takut terjadi sesuatu pada putrinya itu, lalu langsung menelepon balik.
Elsa tentu tahu itu, tapi dia segera memalingkan wajahnya, tidak mau mengangkat telepon.
Clara justru semakin khawatir, dia segera menghubungi telepon vila di sana.
Bibi Sari pun mengangkat telepon itu, selesai mendengar penjelasan Clara, Bibi Sari buru-buru berkata, “Harusnya Nona Elsa baik-baik saja, semalam Nona Elsa memang tidur terlalu malam, wajar dia terlambat bangun hari ini, tadi saya lihat Nona Elsa belum bangun. Coba saya lihat ke atas lagi untuk memastikan, nanti Ibu akan saya hubungi lagi.”
Mendengar Bibi Sari, Clara merasa lega, “Oke, maaf merepotkan.”
Saat Bibi Sari ke atas, Elsa sudah berada di kamar mandi.
Setelah Bibi Sari menjelaskannya, Elsa tampak sedang berkumur, sembari menundukkan kepala dan berbohong, “Nggak sengaja ketekan tadi.”
Bibi Sari tidak curiga sedikitpun, melihatnya masih menggosok gigi, dia langsung turun untuk memberi kabar pada Clara.
Melihat ini, Elsa mendengus dingin, akhirnya suasana hatinya membaik.
Di sisi lain, Clara juga merasa lega saat mendengar penjelasan Bibi Sari.
Namun, karena tiba-tiba terbangun di malam hari, Clara membutuhkan waktu yang lama untuk kembali tertidur, jadi saat bekerja keesokan harinya, dia terlihat lesu.
Sementara amplop berisi surat cerai yang diberikan Clara untuk Edward, setelah dia menerima panggilan telepon saat itu, amplop itu pun terlupakan olehnya.
Saat tiba waktunya untuk pulang ke Marola, Edward memasukkan dokumen terakhir ke dalam tas kerjanya, setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, dia pun berbalik dan pergi ke bawah.
“Oke, ayo berangkat.”
Mobil Limousine segera melaju meninggalkan vila, menuju bandara.
….
Mengenai kepulangan Edward dan Elsa ke Marola, Clara tidak tahu sama sekali.
Tidak ada yang memberitahunya.
Sudah setengah bulan lamanya, semenjak dia pergi dari vila itu.
Selama periode itu, dia perlahan mulai terbiasa dengan kehidupannya, dan mulai menyukai kehidupan seorang diri yang tenang dan santai.
Kebetulan hari ini adalah akhir pekan, dia bangun sedikit terlambat dari biasanya.
Setelah mencuci muka, dia membuka tirai, melihat sinar matahari di luar jendela, meregangkan tubuhnya, lalu menyiram tanamannya, saat hendak memasak sarapan, tiba-tiba terdengar suara bel pintu berbunyi.
Ternyata itu Bu Cindy tetangga depan rumah.
“Mbak Clara, aku nggak ganggu ‘kan?”
Clara menjawab dengan lembut, “Nggak kok, aku sudah bangun tadi.”
“Syukurlah kalau begitu.” Bu Cindy dengan ramah lanjut berkata, “Ini aku bawakan roti dan risol buatanku, silakan dicicip.”
“Makasih, anu... Maaf merepotkan.”
“Nggak kok, kalau bukan karena Mbak Clara yang nyelamatin Bella beberapa hari lalu, entah apa yang terjadi sama Bella setelah digigit anjing gila itu. Sebenarnya sudah beberapa hari aku ingin berterima kasih, tapi kami terlalu sibuk, nggak punya waktu, jadi nggak enak… ”
“Nggak perlu sungkan, itu hanya bantuan kecil kok.”
Setelah mengobrol sebentar, Bu Cindy pun pergi.
Clara masuk ke dalam rumah, lalu menyantap sarapan sambil melihat mekanisme algoritma AI yang baru saja dipelajarinya.
Sore harinya, sebuah berita terkait perayaan seratus tahun Universitas Nano muncul di ponselnya.
Clara terdiam sejenak, dia lantas melihat kalender, dan baru ingat kalau hari ini adalah hari jadi Universitas Nano.
Dia menjelajahi dunia maya, lalu menemukan beberapa pencarian populer tentang perayaan seratus tahun Universitas Nano.
Alasan kenapa perayaan hari jadi Universitas Nano begitu popular kali ini, bukan hanya karena Universitas Nano merupakan kampus terbaik nomor satu di Marola, di mana tiap pergerakannya selalu menjadi pusat perhatian, tapi juga karena perayaan kali ini adalah perayaan ke-100 pertama untuk Universitas Nano, jadi, tidak heran banyak alumni kehormatan yang diundang untuk berpartisipasi dalam perayaan tersebut.
Tentu saja, semua alumni kehormatan yang diundang merupakan tokoh-tokoh terkenal di bidangnya masing-masing.
Clara melihatnya beberapa kali.
Tanpa terasa, tangan Clara yang memegang ponsel bergetar saat melihat beberapa wajah familier yang muncul.
Kenangan masa lalu di kampus langsung terlintas satu per satu di pikirannya.
Detak jantungnya, pun berubah tak karuan.
Jika saja setelah wisuda dirinya tidak cepat-cepat menikah, bisa jadi dia yang akan menjadi salah satu alumni kehormatan, yang tentu saja diundang oleh kampus untuk berpartisipasi dalam perayaan itu!
Clara lantas mematikan laptop miliknya, setelah ragu sejenak, akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke Universitas Nano.
Saat ini, hari sudah mulai sore.
Banyak pejabat dan alumni yang sudah meninggalkan lokasi.
Tapi di dalam universitas itu masih ada banyak orang.
Clara berjalan tanpa tujuan mengitari kampus, saat tiba di lantai bawah gedung laboratorium, sebuah suara familier terdengar memanggilnya.
“Clara?”
Dua puluh menit kemudian, di kedai teh sekitar Universitas Nano.
Dylan Bramantyo menuangkan secangkir teh untuk Clara. “Gimana kabarmu, Clar?”
Clara tertunduk, sembari memegang cangkir teh dan tersenyum tipis. “Sangat baik, hanya saja... Aku sedang menyiapkan perceraianku.”
Dylan tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu, dia pun terdiam sejenak, “Maaf ya.”
“Nggak apa-apa.”
“Terus apa rencanamu selanjutnya? Mau balik ke perusahaan nggak?”
“Ada rencana seperti itu sih, tapi... ”
Dylan tidak tahu apa yang menjadi kekhawatiran Clara, tapi dia berkata dengan serius, “Clar, perusahaan butuh kamu, kamu juga punya andil di perusahaan itu, jadi aku harap, kamu bisa kembali dan memimpin perusahaan.”
“Aku, aku… ”
Melihat keseriusan Dylan, Clara tak sanggup lagi berkata-kata.
Bukannya tidak mau.
Tapi perkembangan AI terlalu cepat baginya.
Dia sudah enam tahun tidak berkecimpung di dunia teknologi, meski sekarang kembali, dia takut tidak akan mampu mengimbangi perkembangan zaman, apalagi memimpin semua orang di garis depan industri teknologi seperti yang pernah dia lakukan di masa lalu.
###11717512###
Bab 5
Dalam kurun waktu terakhir ini Dylan dan Clara memang jarang sekali bertemu.
Tapi meski begitu, Dylan bisa melihat perubahan besar dalam diri Clara, semangat tinggi dan kuat yang dulu dia miliki sudah hilang begitu saja.
Saat teringat akan sosok Clara saat itu, Dylan tidak pernah menyangka sikap rendah diri akan menempel pada wanita itu.
Dylan tidak tahu banyak tentang kehidupan pernikahan Clara dan Edward.
Hanya sekelumit saja yang dia ketahui.
Sebenarnya ada beberapa dugaan dalam hatinya, tapi dia memilih untuk tidak mengatakannya, hanya berkata padanya dengan serius, “Nggak masalah kalau kamu pernah terpuruk dalam hidupmu, tapi kamu harus tahu, kemampuan dan bakatmu berbeda dari jenius biasa. Clar, asalkan kamu punya tekad, belum terlambat untukmu memulainya sekali lagi.”
“Lalu, jangan lupa, kamu itu murid terbaik yang pernah dosenmu ajarkan.”
Mendengar ini, Clara tersenyum, “Kalau dosen kita dengar ucapanmu, mungkin dia akan mencibir, bilang kalau itu semua karena muridnya yang lain tidak begitu bagus.”
Teringat akan dosen elegan dan berlidah tajam yang sempat mengajarnya dulu, senyum Clara mendadak memudar, “Kudengar di berita dosen kita juga pulang untuk hadir di acara ini, apa dia baik-baik saja?”
“Lumayan baik kok, tapi karena murid seperti kami yang mempermalukannya sering muncul di depannya, dia jadi sangat kesal.”
Clara lantas terkekeh mendengar ucapan Dylan, tak kuasa menahan rasa rindunya di masa ketika dipaksa menulis makalah oleh dosennya itu.
Dylan, “Kembalilah, Clara.”
Clara tampak menggenggam erat cangkir teh, lalu menarik napas dalam-dalam sembari mengangguk berkata, “Oke.”
Perlu diketahui bahwa Clara sudah mempelajari kecerdasan buatan atau “AI” sejak usia dini.
Dia benar-benar mencintai bidang ini.
Namun cintanya pada Edward yang begitu dalam membuat Clara terpaksa meninggalkan cita-citanya selama kurang lebih tujuh tahunan.
Mungkin, dia butuh waktu lama untuk mengejar ketertinggalannya itu.
Tapi dia percaya asalkan bekerja keras, segalanya mungkin bisa terjadi.
Dylan bertanya lagi, “Kira-kira kapan kamu kembali?”
“Perusahaan masih mencari orang yang akan menggantikanku, jadi masih harus menunggu beberapa waktu.”
“Nggak masalah, nggak harus sekarang.”
Clara sudah bersedia kembali, bukan masalah untuk menunggunya beberapa waktu ‘kan?
Mereka berdua lantas lanjut mengobrol, tiba-tiba Dylan melihat jam di tangannya, lalu berkata, “Aku ada janji temu sama karyawanku, dia mau ngenalin aku sama orang yang ahli dalam algoritma, katanya sih orang itu baru saja balik ke negara ini, kebetulan kita bertemu di sini, gimana kalau sekalian kamu ikut?”
Clara menggelengkan kepalanya, “Aku masih belum kenal sama karyawanmu, mungkin lain kali saja.”
“Oke deh.”
Tak lama Dylan pergi, Clara melihat Maya Anggasta kakak perempuan Edward berjalan menghampirinya.
Clara juga melihatnya di berita.
Dia tidak menyangka akan bertemu dengan wanita itu di sini.
Clara pun menyapanya, “Kak Maya.”
Maya tidak langsung menjawabnya, dia menatap Clara sambil mengerutkan kening, “Kenapa kamu di sini?”
“Hari ini perayaan ke-100 Universitas Nano, jadi aku datang buat lihat-lihat saja.”
Kalau saja Clara tidak mengatakannya, Maya pasti lupa kalau Clara juga alumni Universitas Nano.
Selain dosen dan mahasiswa aktif, semua yang hadir dalam acara tersebut adalah alumni kehormatan yang sengaja diundang oleh pihak kampus.
Tapi kenapa orang seperti Clara yang bukan siapa-siapa bisa juga hadir?
Lupakan saja.
Asalkan wanita itu tidak sembarangan bicara, mempermalukan Keluarga Anggasta, Maya malas mengobrol dengannya.
Memikirkan hal itu, Maya pun mengutarakan tujuannya, berkata, “Arya bilang dia ingin makan masakanmu, aku akan minta orang mengantarnya ke tempatmu nanti.”
Arya adalah putra Maya, usianya lebih tua satu atau dua tahun dari Elsa.
Pernikahan Maya tidak begitu harmonis, beberapa tahun terakhir dia sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga anaknya jarang terurus, jadi dalam dua tahun ini Arya semakin memberontak, Maya pun semakin susah untuk mengaturnya.
Mengetahui Arya sangat suka makan masakan Clara, Maya lantas sering menitipkannya di tempat Clara selama dua tahun ini.
Tidak ada yang peduli padanya, selain nenek di Keluarga Anggasta.
Anak remaja cenderung meniru sikap orang dewasa.
Meski suka masakan Clara, Arya justru merendahkan Clara yang notabene adalah tantenya, dia sering menganggap tantenya sebagai pembantu yang bebas dia perintah.
Sebelumnya demi Edward, Clara selalu berusaha melakukan yang terbaik dalam menjaga Arya, tidak pernah memasukkan ke dalam hati semua perlakuan tidak hormat kepadanya.
Tapi sekarang Clara sudah bersiap untuk bercerai dengan pria itu, jadi tentu dia tidak ingin melakukannya lagi.
Karena alasan itulah, Clara langsung menolak dan berkata, “Maaf Kak Maya, besok aku nggak ada waktu.”
Clara sudah bertekad untuk kembali menekuni bidangnya, semua waktu yang dimiliki tentu akan terfokus pada urusannya semata.
Setelah bercerai, dia tidak punya urusan lagi dengan Edward atau pun Maya.
Dia tidak akan membuang waktunya hanya untuk mengurusi mereka.
Maya tidak menyangka Clara akan menolaknya.
Bagaimanapun dulu, demi mendapatkan perhatian Edward, Clara selalu berusaha mengambil hati Keluarga Anggasta.
Hanya saja, Maya tidak terlalu memedulikannya.
Clara tidak pernah menolak sebelumnya, jadi saat dia mendengar bahwa Clara ada urusan, dia langsung merasa bahwa Clara memang ada urusan, kalau tidak mana mungkin dia akan melepaskan kesempatan menjilatnya?
Meski begitu, Maya tampak kesal, “Edward dan Elsa bahkan nggak ada di rumah, kamu sibuk apa?”
Begitu mendengar ini, Clara lantas tersenyum pahit.
Selama ini, dia rela membuang jati dirinya, hanya berfokus pada Edward dan putrinya.
Jadi saat mendengar perkataan Maya, dia merasa itu tidak salah.
Tapi dia yakin tidak akan seperti itu lagi.
Saat memikirkannya, Clara hendak mengatakan sesuatu, tapi, tiba-tiba muncul beberapa orang berjalan ke arah mereka.
“Bu Maya!”
Terlihat jelas kedatangan mereka untuk bertemu dengan Maya.
Mereka menatap Clara, dari atas sampai bawah lalu bertanya, “Bu Maya, siapa dia?”
Maya tidak mengakui Clara sebagai ipar, dia lantas berkata dengan nada dingin, “Cuma teman.”
“Oh, teman... ”
Mereka semua memang untuk menghadiri perayaan ke-100 Universitas Nano, tentunya mereka mempunyai status sosial yang tinggi.
Saat melihat Maya bertemu dengan seseorang, mereka mengira seseorang itu adalah orang penting.
Tapi saat melihat sikap Maya pada Clara, tidak ada seorang pun yang memerhatikan Clara lagi, kecuali ada beberapa orang yang merasa dia cantik, dan tidak tahan untuk meliriknya sebentar.
Setelah berkumpul dengan Maya, mereka langsung pergi begitu saja.
Kalau dulu, mungkin Clara akan sakit hati, setiap mendengar Maya tidak mengakuinya sebagai adik ipar.
Sekarang mah masa bodoh.
Selepas kepergian Maya, Clara juga mengambil tasnya, lalu berbalik dan pergi.
Tepat di hari itu sekitar pukul sepuluh malam lebih, pesawat yang ditumpangi Edward dan Elsa tiba di bandara tepat waktu.
Saat waktu menunjukkan hampir dini hari, barulah mereka tiba di rumah.
Sementara Elsa sudah terlarut dalam tidurnya bahkan sebelum tiba di rumah.
Edward menggendong Elsa ke atas, saat melewati kamar tidur utama, dia menyadari pintu terbuka, tapi dalam keadaan gelap tanpa cahaya.
Setelah menggendong Elsa ke kamarnya, Edward kembali ke kamar tidur utama, dia menyalakan lampu kecil di kamar, lalu melirik ke arah ranjang, tampak kosong.
Tidak ada Clara di sana.
Pada saat ini, kepala pelayan kebetulan sedang membawa koper Edward ke atas, Edward pun melonggarkan dasi di lehernya, sambil bertanya, “Ke mana dia?”
Kepala pelayan buru-buru berkata, “Bu Clara pergi dinas.”
Setengah bulan lalu, kebetulan Edward tidak berada di rumah saat Clara pergi.
Pelayan menjelaskan kalau Clara membawa koper saat pergi, seharusnya wanita itu pergi untuk urusan pekerjaan.
Tapi ada yang aneh, Clara jarang sekali pergi dinas, kalaupun pergi biasanya hanya dua atau tiga hari.
Tapi kali ini sudah setengah bulan dia belum kembali.
Edward hanya menjawab singkat, tak lanjut bertanya.
Baca sampai tamat DISINI
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Suamiku, yang selalu bersikap dingin padaku selama 7 tahun pernikahan"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker