Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya

Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya


 “Emh! Bau apa ini?” Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung, aroma tak sedap ini sangat mengganggu aktivitasku yang tengah sibuk menyapu.


Karena penasaran, aku mencari sumber bau. Sampai akhirnya aku bisa memastikan jika bau busuk tersebut berada dari kamar yang dihuni menantuku, Nina.


“Huek!” Aku hampir muntah dan segera menutup hidung saat berada di depan pintu kamar Nina.


“Eh, gak dikunci.” Aku terheran-heran saat iseng menekan knop, kemudian aku langsung menoleh ke pintu rumah yang terbuka, memastikan apa Nina sudah pulang dari posyandu atau belum.


Tak ada tanda-tanda perempuan berusia dua puluh empat tahun itu pulang, dengan segera aku membenamkan diri ke dalam lalu menutup pintu kamar Nina dengan cepat. Bisa gawat kalau aku kepergok masuk ke kamar ini, secara Nina tidak pernah suka ada orang yang masuk kecuali anakku alias suaminya, Wahyu. Padahal, rumah yang dia tempati ini adalah rumahku sendiri.


Kalau saja ada yang masuk ke kamarnya entah itu aku atau kedua adik iparnya, Nina akan marah besar dan mengadu kepada Wahyu sambil merengek manja. Ah … menyebalkan kalau mengingat itu semua.


Takut Nina dan cucuku yang baru berusia dua tahun keburu pulang dari posyandu, cepat-cepat aku mencari sesuatu yang menguarkan bau tak enak tersebut. Herannya, tak ada benda atau apapun yang mencurigakan, di kamar Nina hanya ada ranjang dan lemari beserta meja rias yang dipenuhi kosmetik. Banyak sekali, pantas saja Wahyu pernah bilang jika istrinya itu boros. Memang Nina sangat suka bergaya.


“Duh, terus apaan? Jelas baunya dari sini.” Aku masih memutari ruangan ini sambil sesekali menutup hidung, sampai akhirnya tubuh ini merunduk.


“Astaghfirullah!” ucapku kaget bukan main saat melihat kolong ranjang dipenuhi makanan. Dari mulai kue kalengan sampai minyak goreng pun ada di sana. 


Walau samar aku bisa melihat sebuah kantung kresek berwarna putih berisi telur yang isinya sudah pecah. Susah payah aku menariknya, bau busuk itu semakin membuatku ingin mengeluarkan segala yang ada di dalam perut. Benar-benar bau!


“Sudah busuk begini, apa dia gak menciumnya sama sekali?” Aku geleng-geleng kepala, sangat tak habis pikir dengan kelakuan Nina. Pantas saja akhir-akhir ini banyak kecoak dan tikus di rumah, mungkin ini salah satu penyebabnya.


Nina memang sering membawa makanan ke dalam kamar, kalau sehabis jajan dia pasti langsung mengurung diri di tempat ini. Namun, aku mengira Nina langsung menghabiskannya, bukan menyimpannya di bawah ranjang seperti ini. Dari pada disembunyikan di kolong, lebih baik buka warung saja menurutku. Benar-benar aneh.


“Ibu, lagi apa?” Jantungku terasa jatuh saat kepergok Nina. Tampak wanita berambut ikal itu memandangiku dengan saksama, satu tangannya menggenggam kantung berisi bakso, dan satu tangannya yang lain masih memegangi cucuku, Adel.


“I-ini, maaf, Nin. Tadi di sini bau busuk banget, makanya Ibu terpaksa ngecek kamar. Eh, rupanya ada telur busuk di dekat lemari.” Sengaja aku berbohong, biarlah dia menyangka jika aku tak tahu keadaan kolong ranjangnya.


“Kok Ibu berani sih ke kamar Nina?” Raut wajahnya semakin tak enak dipandang.


“Maaf sebelumnya, Nin. Sudah Ibu bilang Ibu terpaksa, karena baunya sangat menyengat. Apa lagi pas Ibu cek kamarmu gak dikunci, Ibu kira itu tandanya Ibu boleh masuk.”


“Lain kali jangan pernah masuk ke kamar ini lagi, Bu! Walau pun gak dikunci. Aku hanya lupa, makanya pulang cepat takut ada yang masuk,” ucapnya ketus.


“Ya sudah, Ibu minta maaf. Ibu mau buang ini dulu.” Aku berujar seraya menahan kesal, saat hendak keluar kamar tangan ini ingin membelai kepala Adel, tapi anak lucu itu malah ditarik ibunya dengan cepat. Aku yang mengerti hanya bisa mengulas senyum tipis, selain pelit perihal rezeki, Nina juga pelit soal anaknya. Dia tak pernah membiarkanku menyentuh Adel, menantu aneh.


“Bu?” panggilnya saat tubuh ini sudah berada di luar kamar.


“Iya?”


“Tadi nemu telurnya di mana?”


“Dekat lemari. Memangnya kenapa, Nin?” tanyaku sengaja. Raut wajahnya berubah seketika.


“Nggak apa-apa.” Aku tersenyum kemudian berlalu seraya mengambil sapu yang bersandar di tembok dekat pintu kamar.


Mimpi apa aku selama ini bisa punya menantu pelit dan sangat jorok seperti Nina, Ya Tuhan?


*** 


Samar-samar aku mendengar Nina berbicara dengan Wahyu, dia pasti tengah menelepon anak sulungku itu dan mengadukan perihal tadi siang.


[Bu … jangan masuk ke kamar Nina, ya? Takut dia gak nyaman] Betul, ‘kan? Tak lama setelah Nina masuk ke dalam rumah sembari menenteng styrofoam wangi mi ayam, Wahyu yang berada di Jakarta langsung menghubungiku. Benar, anak sulungku memang mencari nafkah di Ibu Kota. Terkadang aku tidak tega kalau istrinya selalu meminta uang dengan nominal besar.


[Iya, maafin Ibu, Yu.] Sengaja aku tak mengadu, biar saja menunggu waktu. Aku takut dia menceraikan istrinya jika memberitahu perilaku Nina selama ini. Bukan takut kehilangan menantu, tapi kasihan pada cucu. Setidaknya Adel makhluk kecil yang masih butuh perhatian kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya.


“Enak gak, Sayang?” Aku dan kedua anak lelakiku yang tengah menonton televisi otomatis menoleh mendengar ucapan Nina. Dari sini, kami bisa melihat dia tengah menikmati mi ayam sambil memandangi Adel yang mengunyah biskuit. Jujur, aku langsung menelan ludah.


“Enak kayaknya, Bu.” Anak bungsuku, Farhan berbisik. Wangi mi ayamnya memang semerbak. Mendadak aku jadi kasihan pada Ridho dan Farhan.


“Nanti kalau aku sudah dapat kerja, aku bakal beliin, Han.” Abangnya Ridho seolah mengobati perasaan sakitnya, Ridho memang baru lulus sekolah SLTP, sayang dia tidak bisa melanjutkan Pendidikan. Selama ini kami memang bergantung pada Wahyu karena suamiku sudah meninggal sepuluh tahun lalu. Namun, setelah anak sulungku menikah, otomatis dia tak lagi fokus pada kami.


Aku tak menuntut apa pun, malah bahagia melihat Wahyu sudah menemukan jodohnya. Sebagai orang tua, aku hanya bisa mendukung serta mendoakannya.


Sedangkan anak bungsuku, Farhan, masih bersekolah dan baru masuk SMP. Semoga saja ada rezeki cukup hingga nantinya aku bisa menyekolahkan Farhan ke jenjang yang lebih tinggi.


Tiba-tiba Nina keluar, tanpa permisi dia melewati kami sambil bersendawa. Aku hanya bisa membuang napas, bergejolak rasanya hati ini.


“Tunggu, ya?”


“Mau ke mana, Bu?” tanya kedua anak lelakiku. Aku tak menjawab saking sudah dongkolnya.


Setelah masuk kamar, kuambil cincin pemberian mendiang suamiku, hingga menyisakan kalungnya saja. 


“Tunggu saja,” ucapku saat Ridho dan Farhan kembali bertanya aku hendak ke mana.


“Mau digadai berapa, Bu Ami?” tanya tetangga saat aku menyodori cincin bersurat ini.


“Lima ratus ribu saja.” Akhirnya persetujuan pun terjadi. 


Setelah menerima uangnya aku langsung keluar gang, mencari pedagang yang biasa nongkrong di jalanan.


Dari mulai mi ayam, bakso, kebab, bahkan kakiku sampai ke tempat penjual pizza. Entahlah … aku seperti orang tak waras hanya karena merasa sakit hati oleh menantu sendiri.


“Assalamualaikum. Ayo, dimakan Ridho … Farhan!” ucapku seraya melebarkan senyuman, kedua anakku itu tampak melongo, pun dengan Nina, dia berada di ruangan yang sama. Rupanya dia telah menguasai remot televisi, membuat hatiku semakin meradang saja.


“A-apa ini, Bu?”


“Makan saja. Ini pizza asli, Ibu langsung beli dari kedainya. Ini, ada makanan lain juga. Dinikmatin, ya?” ucapku sengaja tanpa menawari Nina. Kulihat Ridho dan Farhan tersenyum dan langsung menyambar makanan tersebut. Jujur, aku terharu sampai tak bisa ikut makan.


“Ini, Bu. Ini yang enak!” Ridho dan Farhan berebutan makanan untuk kucoba, kami saling tertawa akhirnya.


Mendadak remot televisi terlempar tak jauh ke arah sini. Kami langsung terdiam lalu menoleh pada Nina, tampak wanita itu berjalan cepat ke kamar lalu menutup pintu dengan kencang. Aku tersenyum, merasa berhasil memanasinya. Walau sudut hati teringat Adel yang sudah terlelap di ruangan tersebut bersama ibunya.


Biarlah, untuk Adel akan kubelikan makanan di lain waktu. Untuk kali ini, aku hanya ingin membalas sakit hati pada menantu.


Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya - Azu Ra

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya "

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel