Aku tidak sedang main api. Aku sedang menyalakan bara yang sudah mereka taburkan di sekujur hidupku, dan sekarang, saatnya terbakar.
*****
Langkah pertama, aku menghubungi Fadel, rekan analis senior yang sempat bekerja di cabang Jakarta Timur, divisi yang kini m4ti perlahan akibat penyalahgun4an d4na operasional.
“Kamu yakin mau buka semua ini?” suara Fadel terdengar berat.
“Aku tidak minta kamu boh0ng. Aku cuma mau kamu jujur.”
Dia terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Aku ada satu file. Tapi kalau ini keluar, namaku bisa kena juga."
“Aku jaga namamu. Aku cuma perlu buktinya.”
Lima menit kemudian, file itu masuk ke emailku.
Isi dokumen itu membuat tubuhku gemetar.
Nama: Oktavia Arman
Jabatan: Supervisor Proyek
Keterangan: Transaksi fiktif pengadaan alat kerja, nilai total 2,3 mili4r dalam waktu 8 bulan.
Nomor reke_ning penerima: B4nk Swasta, atas nama O. Kirana nama samaran yang digunakan Oktavia untuk reke_ning bayangan.
Ternyata u4ng yang dia hamburkan untuk gaya hidup mewah, tas branded, dan liburan ke Swiss semua diambil dari dalam perut perusahaan ayahnya sendiri.
Dan yang lebih gil4, Pak Arman tidak tahu.
*****
Aku simpan data itu rapat-rapat.
Langkah kedua, aku menghubungi wartawan yang pernah menulis tentang, kejatuhan bisnis keluarga Arman. Seorang jurnalis ekonomi bernama Ratih Sundari.
“Kamu punya bukti?” tanya Ratih dengan nada taj4m.
“Kamu akan punya semuanya. Tapi aku tidak akan tampil di publik.”
“Off the record?”
“Off the record. Tapi valid.”
Kami bertemu di sebuah kedai kopi kecil di Kemang. Aku menyerahkan flashdisk dan menjelaskan semuanya.
“Aku enggak minta kamu bela aku. Aku cuma minta kamu buka mata publik soal siapa yang sebenarnya menj4tuhkan Arta Group.”
Ratih menatapku lama. “Kalau ini valid, ini bukan cuma berita. Ini b0m nu_klir.”
Aku tersenyum kecil. “Waktunya meled4k.”
*****
Tiga hari kemudian, media sosial meled4k.
“Putri Pemilik Arta Group Diduga Selewengk4n D4na 2,3 Mili4r”
“O. Arman Gunakan Nama Samaran untuk Trans4ksi Fiktif?”
“Pengkhi4natan dari dalam. U4ng Ayah Dijadikan Alat Pamer”
Nama Oktavia Arman menjadi trending topic nasional.
Sah4m Arta Group sempat turun, lalu stabil kembali saat publik tahu bahwa perusahaan sedang menginvestigasi secara internal.
Tapi yang paling menyesakkan adalah ekspresi wajah Pak Arman saat aku menyerahkan semua bukti langsung padanya.
“Jadi ini benar?”
Aku mengangguk pelan. “Saya tidak mau menyimpan ini terlalu lama. Perusahaan terlalu besar untuk dik0rbankan demi satu orang.”
Dia menutup wajahnya dengan tangan.
“Aku kira aku mengenal anakku.”
Aku menatapnya penuh luk4. “Mungkin dulu saya juga kira saya mengenal Bude saya. Tapi pengkhi4nat selalu menyamar sebagai keluarga.”
Pak Arman tak bisa berkata apa-apa.
Dan aku tahu, luka itu tidak hanya milikku sekarang.
*****
Oktavia menghilang. Empat hari, lima hari, namanya r4ib dari kantor, dari grup WhatsApp, dari semua peredaran sosial.
Lalu, seperti petir di siang bolong, aku mendapat surat panggilan dari pengacara Oktavia.
Dia menun_tutku atas pencem4ran nama baik dan penyebaran data pribadi. Aku hanya tertawa.
Karena aku tahu, tun_tutan itu takkan bertahan lama. Karena semua bukti di tanganku legal dan valid. Dan karena aku tidak pernah menyebut namanya di publik. Hanya media yang menyimpulkan dari data yang sudah lama b0cor ke tangan yang tepat.
*****
Tapi babak s4dis belum selesai.
Karena tiga hari setelah surat tun_tutan itu masuk, aku mendapat pesan dari orang tak dikenal.
“Kalau kamu terus ganggu Oktavia, siap-siap lihat siapa ibumu sebenarnya.”
Tubuhku langsung kaku. Nafasku tercekat.
Aku membalas cepat.
“Siapa kamu?”
Tak ada balasan. Tapi beberapa jam kemudian, sebuah foto masuk ke email pribadiku. Sebuah foto tua, s0bek di bagian pinggir. Ada sosok perempuan muda mengenakan seragam rumah sakit. Di belakangnya, tertulis, “Pasien ruang bersalin - 1999” Dan di bawahnya, tertera nama,
“Amelia Syahputri – tanpa wali.”
Aku menatap layar laptopku dengan mata berkaca-kaca.
Amelia...
Nama ibuku.
Selama ini aku tak pernah tahu siapa dia. Dan kini seseorang mencoba menggunakannya sebagai senj4ta.
*****
Aku pergi ke rumah sakit itu. Masih berdiri, meski kini sudah jadi rumah sakit bers4lin swasta.
Di sana, aku menunjukkan foto itu kepada bagian arsip. Butuh waktu lama, tapi akhirnya aku dibawa ke ruang dokumentasi fisik.
Sebuah map tua berwarna cokelat, bertuliskan,
“Amelia Syahputri – Pasien 11 Maret 1999”
Aku membukanya perlahan.
Ada catatan tangan dokter:
“Pasien mel4hirkan dalam kondisi tr4uma berat. Tidak menyebut nama ayah anak. Menolak menulis surat pengakuan. Pasien hilang dua hari setelah mel4hirkan. Anak dirawat oleh pihak yayasan sementara waktu.”
Tiba-tiba, seluruh tubuhku serasa kosong.
Aku l4hir dari perempuan yang ketakutan.
Yang ditinggal. Yang mungkin dikhi4nati.
Dan semua orang menyalahkan aku atas hidup yang bahkan tidak kuminta.
*****
Aku men4ngis di parkiran rumah sakit sendirian,
karena hari ini, aku mengenal ibuku. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak malu dengan namaku.
*****
Saat kembali ke kantor, suasana terasa lebih tenang. Mungkin karena semua sudah tahu siapa sebenarnya Nayla. Atau mungkin, karena Oktavia tak lagi jadi bayangan gelap di lorong-lorong perusahaan. Tapi ada satu hal yang belum selesai.
Aku masih ingin bertemu langsung dengan Oktavia.
Dan Tuhan sepertinya setuju. Karena seminggu kemudian, aku melihatnya. Di parkiran basement, mengenakan masker dan kacamata hitam. Tapi aku tahu itu dia. Aku menunggu di dekat mobilku. Dan saat dia mendekat, “Oktavia.”
Dia menoleh kaget, hampir menjatuhkan ponselnya. “Apa kamu puas?” suaranya parau. “Kamu sudah h4ncurkan hidupku.”
Aku menatapnya taj4m. “Aku tidak mengh4ncurkan hidupmu. Kamu sendiri yang menanam ranjau itu.”
Dia tertawa sinis. “Kamu pikir kamu pahlawan, Nayla? Kamu cuma anak h4ram yang merasa menang karena bisa masuk kantor elite. Kamu tetap bukan siapa-siapa.” Aku melangkah mendekat, wajahku datar.
“Kamu benar. Aku anak h4ram. Tapi aku tidak pernah men_curi u4ng dari ayahku sendiri. Aku tidak pernah ju4l masa lalu orang lain demi validasi. Dan aku tidak pernah takut untuk berdiri sendiri.”
Dia hendak menjawab, tapi aku mendahului.
“Kamu hidup dengan keboh0ngan, dan kamu dibesarkan dengan kebenci4n. Tapi aku dibesarkan dalam rasa tidak diinginkan, dan itu membuatku tahu caranya bertahan.”
Aku menatap matanya dalam-dalam.
“Aku tidak akan h4ncurkan kamu, Oktavia. Aku akan biarkan kamu hidup dan melihat aku terus naik. Itu akan lebih meny4kitkan daripada penj4ra. Kamu tersiks4 bukan melihatku sukses? Karena pembentukan sepertimu akan sangat bahagia bila melihat mu_suhmu jatuh."
Dia berdiri kaku. Wajahnya menegang. Lalu dia berbalik, masuk ke mobilnya, dan pergi tanpa suara.
“Namaku Nayla.
Aku tidak tahu siapa ayahku.
Tapi aku tahu siapa diriku.
Dan itu cukup.”
SISA SAMPAH MEREKA MEMANGGILKU (9)
Penulis : Zuliapenacinta
Aplikasi : Kbm
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "SISA SAMPAH MEREKA MEMANGGILKU (9)"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker