“Oalah Mak, hutang yang dulu aja belum lunas ko. Masa mau ngutang lagi sih. Nggak bisa! Pokoknya Emak harus bayar hut ang dulu,”
Terdengar suara melengking Bu Sundari, pemilik warung tak jauh dari rumahku.
Aku yang memang mau ke warungnya, melangkahkan kaki lebih cepat segera menghampiri, dan benar saja. Mak Dijah tertunduk, sedangkan Bu Sundari dengan puas menunjuk-nunjukan jarinya di depan wajah wanita yang umurnya jauh lebih tua dari dia.
“Cukup, Bu Sun! Kasihan Mak Dijah.” Aku merangkul pundak Mak Dijah yang tergugu.
“Mbak Nur nggak usah kasihan sama Mak Dijah. Dia ini pembohong Mbak, Uang Anaknya yang dikirim entah habis buat apa. Sampai hutangnya numpuk di warung saya.” Ucap Bu Sundari kesal.
“Emak permisi, Nur.” Ucap Mak Dijah pelan kemudian meninggalkan kami, aku memandang kepergian wanita paruh baya itu dengan tatapan iba.
“Ko Bu Sundari bisa tahu kalo anaknya Mak Dijah kirim uang?” Tanyaku, Aku berniat membayar hutang Mak Dijah tapi kuurungkan, pasti dianggap pahlawan kesiangan dan juga takut dimanfaatkan oleh pemilik warung ini.
“Saya nagih hut ang Mak Dijah yang dua ratus ribu itu Lho Mbak Nur, tapi anaknya bilang sudah kirim uangnya ke Mak Dijah. Kamu kan yang tetangganya, masa nggak tahu sih, Mbak.” Ucap Bu sundari menjelaskan.
Aku menganggukan kepala, “Bu Sun nggak nanya, uangnya dikirim ke siapa? Mak Dijah mana mungkin punya ATM dan juga dia nggak punya saudara yang tinggal disini,”
Bu Sundari menggaruk kepalanya yang tertutup jilbab panjang itu “Oo iya, Ko saya nggak kepikiran ya. Nanti saya tanya sama anaknya deh,” Wanita itu tersenyum kikuk. “Mbak Nur mau belanja apa?”
“Ayam satu ekor ya Bu Sun. Potong kecil-kecil.” Bu Sundari dengan cekatan memotong ayam menjadi beberapa bagian kemudian memasukannya kedalam kantong plastic bening.
setelah membayar belanjaanku, aku pamit pulang ingin segera memasak opor ayam kesukaan suamiku.
__
“Mak, Nur bawain blarak buat Emak.” Aku menarik batang daun kelapa dengan susah payah dan meletakannya di dekat Mak Dijah. Senyumnya mengembang saat melihatku, netra tua itu terbinar melihat apa yang aku bawa. Kini ia bisa membuat sapu lidi lebih banyak untuk ia jual.
“Terimakasih Nur, banyak sekali? Apa tak sayang kalo dipetik?” Tanya Mak dijah.
“Bukan tak sayang Mak, tapi kata Mas Anto, kalo nggak dipetik takut jatuh dan menimpa rumah kami. Emak tahu sendiri, pohon kelapa itu tumbuh terlalu dekat dengan dapur kami. Bahaya kan Mak.” Aku beralasan. Emak tersenyum mendengar jawabanku.
“Kenapa nggak ditebang, Nur?” Tanya Mak Dijah.
“Masih sayang, Mak. Kelapanya banyak, Nanti saja,” Mak Dijah mengaggukan kepalanya.
“Nur, boleh Emak pinjam hape buat telepon anak Emak?” Ucap Emak tiba-tiba
“Boleh, Emak mau telepon Nisa?” Emak mengangguk. Nisa anak bungsu Mak Dijah, baru satu tahun ini ia pergi merantau ke kota. Ia menitipkan ibunya itu padaku dan berjanji akan mengirim uang untuk keperluan ibunya di kampung.
Tapi jangankan kiriman uang, menanyakan kabar ibunya saja tidak pernah. Tak jarang aku mengirim foto Mak Dijah padanya, dan menanyakan kabarnya, tapi tak pernah dibalasnya.
Aku mengambil ponsel dari saku dasterku, kemudian mencari kontak Nisa dan menelfonnya. Beruntung Nisa tak pernah menolak saat di telfon walaupun hanya berbicara sebentar saja dengan ibunya, tak sampai lima menit pasti telepon sudah dimatikan.
Aku memberikan ponsel pada Mak Dijah. kemudian pergi agak menjauh darinya, agar aku tak melihat wajah rentanya yang menyiratkan kesedihan dan kekecewaan.
“Halo, Mak. kenapa telfon? aku sibuk mak banyak kerjaanku.” Terdengar suara Nisa disebrang sana, bukan bermaksud mendengarkan. Tapi memang harus memakai loudspeaker agar Mak Dijah dapat mendengar suara anaknya dengan jelas.
“Iya Nak, Emak pengen denger suara kamu. Kamu sehat kan Nisa?” Ucap Mak Dijah terdengar bergetar.
“Iya, Nisa sehat. Sudah dulu Mak, Nisa banyak kerjaan.” Panggilan terputus.
Mak Dijah masih saja menempelkan ponsel di telinganya, mungkin ia berharap masih bisa mendengar suara putrinya.
“Mak” Aku mengusap pelan lengan Mak Dijah. “Sudah telefonnya? Gimana kabar Anak Emak? sehatkah?”
“Alhamdulillah sehat, Nur. Emak seneng banget bisa dengar suaranya. Nisa pasti kangen banget sama Emak, Ya Nur?”
Hatiku mencelos, Andai Mak Dijah tahu kalo Nisa tak pernah sekalipun menanyakan kabarnya. Apakah Emak masih sesayang itu padanya?
Namanya Khadijah, wanita paruh baya yang tinggal seorang diri di rumah berdinding anyaman bambu yang sudah lapuk dimakan usia. Mempunyai tiga orang anak, Anak pertamanya bernama Fahmi. Mas Fahmi tinggal hanya berbeda kecamatan dengan kami. Yang ku dengar dari orang-orang dia hidup berkecukupan, mempunyai agen sembako di pasar.
Disti, Anak kedua Mak Dijah tinggal di sebrang pulau. Ia ikut merantau dengan suaminya setelah menikah tiga tahun yang lalu. Sedangkan Nisa anak bungsu Mak Dijah, ikut merantau pergi ke kota setahun lalu, dengan alasan ingin membahagiakan ibunya.
Aku sendiri pindah kesini ikut dengan suamiku, baru sekitar dua tahun aku tinggal disini. Dari ketiga anak Mak Dijah aku hanya pernah ketemu dengan Nisa. Sedangkan dengan Mas Fahmi aku tak pernah bertemu walaupun hanya beda kecamatan, mungkin ia tak pernah berkunjung ke rumah ibunya. Atau mungkin berkunjung ketika kebetulan aku tengah pergi, mungkin.
“Iya, Mak. Nur pulang dulu ya Mak, mau masak dulu, sebentar lagi Mas Anto pulang kerja.” Aku pamit pulang pada Mak Dijah, rasanya tak kuat berlama-lama menahan mata yang sudah berkabut. Aku tak mau tangisku tumpah di depan beliau.
Sampai di rumah, kubuka ponselku. Benar saja, ada satu pesan dari Nisa, dengan malas aku membukanya.
[Aku sibuk Mbak, jangan suruh Emak buat telfon aku. Aku tahu pasti Emak mau minta duit, tapi Nisa lagi nggak ada, sudah habis buat jalan-jalan kemarin]
‘Dasar anak durhaka!’ Aku mengumpat menyayangkan sikap Nisa pada Ibunya sendiri. Padahal Mak Dijah nggak pernah minta uang anak-anaknya, ia hanya rindu mendengar suara anaknya.
“Assalamualaikum, Dek,”
“Waalaikum salam, Mas. Tumben hari ini pulang lebih sore?” Aku mengambil tas kerja dari tangan Mas Anto. Tak lupa men ci um tangannya takzim.
“Lho, hari ini kan ada eskul disekolah, tadi pagi Mas juga sudah bilang kan. Kamu lagi mikirin apa?”
Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali nggak gatal. Aku tak mungkin menceritakan tentang sikap Nisa pada Mak Dijah. Mas Anto tak mau mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
“Kalo mau bantu, bantu aja Dek, nggak usah ikut campur. Itu bukan urusan kita.” Itu yang selalu dia bilang saat aku cerita tentang kelakuan anak-anak Mak Dijah.
--------
Penulis Kirei Yuriku
Baca selengkapnya di KBM app.
Judul Semangkuk Opor untuk Mak Dijah
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Semangkuk Opor untuk Mak Dijah"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker