Kuceraikan dia karena merasa lelah dengan wajah lusuhnya, tubuhnya yang tak lagi menarik, dan hidup yang terasa monoton. Kupikir, dia hanya wanita biasa yang tak bisa mengikuti langkahku. Tak kusangka, perempuan yang setiap hari menyuapi anak-anak kami dengan tangan kosong itu ternyata ...
🍁🍁🍁🍁🍁
Bab 7
Aku kembali ke pelaminan dengan wajah datar, menyembunyikan kekalutan yang masih bergemuruh di kepala. Suara musik tetap mengalun lembut, lampu ballroom menyala indah, dan tamu-tamu terus berdatangan memberikan selamat.
Tapi aku? Rasanya seperti duduk di atas bara.
Sisa saldo seratus ribu rupiah. Sementara pelunasan untuk WO belum terbayar. Lima puluh juta. Dan ibu, jelas gak mungkin tahu atau pura-pura gak tahu soal pembayaran itu. Jangan-jangan, uang itu sudah melayang ke rekening Mbak Mita lagi.
Aku melirik ke arah Nita yang tersenyum cerah saat berfoto dengan tamu undangan. Gamis putih mewahnya, kalung berlian di lehernya, dan hiasan bunga di rambutnya, semua itu tampak sempurna. Tapi yang tahu kenyataan keuangan kami hanya aku dan sekarang, WO yang terus menagih.
“Mas, kamu kenapa? Wajahmu kayak orang habis ditampar,” bisik Nita pelan saat kami duduk sebentar di sofa pelaminan.
Aku memaksakan senyum. “Capek aja. Banyak banget tamunya.”
Nita tertawa kecil. “Iya sih, tapi seneng banget kan? Akhirnya kita sah juga.”
Aku cuma mengangguk.
Tanganku mengepal diam-diam. Tak mungkin kuberi tahu sekarang. Bukan saatnya. Nita pasti bakal panik kalau tahu kita belum bayar WO. Bahkan tagihan rumah juga belum lunas, dan mobil baru itu? Cicilannya baru jalan dua kali.
Aku harus tahan ini semua sendiri. Aku Haris. Aku laki-laki. Aku kepala keluarga. Aku manajer
Aku bersandar pelan, menatap chandelier di langit-langit ballroom.
Tapi kenapa bayangan Laika terus muncul di pikiranku dengan senyum dingin.
Acara akhirnya usai menjelang tengah malam. Tamu terakhir pamit, lampu ballroom mulai diredupkan, dan aku bisa menarik napas, sedikit lega. Tapi hanya sebentar.
Di ruang ganti pengantin yang disiapkan hotel, aku duduk lelah sambil melonggarkan dasi. Nita sedang bersiap-siap berganti baju untuk kami menginap di kamar hotel yang sudah dipesan seminggu lalu.
Tak lama, ibu dan Mbak Mita masuk sambil tertawa kecil.
“Ya ampun, rame banget ya. Tapi puas, Haris. Mewah, elegan, semua orang pasti ngiri lihat kamu nikah sama Nita,” kata ibu sambil menepuk bahuku.
Aku mengangguk setengah hati.
“Bu, Mbak… aku perlu ngomong,” ucapku pelan.
Mereka langsung saling pandang, lalu duduk di sofa.
“WO tadi nelepon. Ternyata pelunasan belum dibayar. Aku kira ibu udah transfer, uangnya udah aku serahin waktu itu.”
Ibu hanya mengangkat alis. “Lho, ya ibu pikir kamu yang langsung bayar. Emang ibu bilang mau transfer?”
Aku menahan napas. “Lha, uangnya ibu yang bawa! Aku kasih cash ke ibu!”
“Ya ampun, Haris,” sela Mbak Mita santai. “Masa sih repot amat gitu. Lagian, kamu kan udah nikah sama Nita. Dia itu kaya, tau. Kalau emang WO belum dibayar ya tinggal bilang aja ke istrimu.”
Aku menatap Mbak Mita tajam. “Ini bukan soal minta ke istri. Ini harga diri!”
Ibu mendecak pelan. “Udah, jangan lebay. Kamu tuh sekarang udah punya istri baru. Cantik, kaya, dari keluarga terpandang. Gak usah khawatir soal duit-duitan begitu.”
Mbak Mita menambahkan sambil berdiri, merapikan tasnya, “Toh, kamu sekarang gak usah pusing mikirin biaya anak-anak itu. Biar Laika aja yang urus. Kamu fokus aja bangun rumah tangga yang baru.”
Aku terdiam. Kata-kata mereka benar-benar menohok.
Bukan hanya soal uang, tapi soal bagaimana gampangnya mereka membuang tanggung jawab dan menggampangkan semua seolah-olah bisa diatasi asal uang istri cukup.
Dan sekarang, mereka benar-benar berharap aku bergantung pada Nita?
Laika bahkan gak pernah menuntut. Tapi justru aku yang ninggalin dia.
“Nikmatin malammu, Haris. Selamat datang di kehidupan baru,” gumam Mbak Mita, sebelum keluar dari ruangan bersama ibu.
Aku duduk sendiri. Cermin di depanku memantulkan wajah lelahku. Jas pengantin putih gading yang kupakai terasa sempit, bukan karena ukuran, tapi karena beban yang makin hari makin berat.
Dan di luar sana, Nita menungguku di hotel dengan harapan tinggi dan dompet yang belum tentu terbuka untukku.
Tak lama kemudian, aku menyusul Nita ke kamar hotel.
Akan tetapi, kamar hotel bintang lima itu seharusnya jadi tempat istirahat paling nyaman setelah hari panjang. Tapi begitu aku masuk, Nita sedang berdiri di dekat jendela besar, mengenakan dress satin tipis warna champagne, rambutnya digerai rapi.
Dia menoleh cepat. “Mas, kok lama banget sih?”
Aku menarik napas. “Tadi ngobrol dulu sebentar sama ibu sama Mbak Mita.”
“Ngobrol apa?” tanyanya sambil berjalan ke arahku.
Aku tidak langsung jawab. Sebaliknya, aku membuka jas dan melemparkannya ke kursi.
“Nita…” Aku akhirnya bicara. “Tadi WO nelpon. Katanya pelunasan belum dibayar.”
Alis Nita langsung naik. “Hah? Bukannya semua udah lunas, Mas?”
“Seharusnya, iya. Tapi entah kenapa uang yang aku kasih ke ibu waktu itu nggak pernah sampai ke WO. Mereka minta pelunasan segera, paling lambat besok siang.”
Nita memutar mata dan melipat tangan di dada. “Dan Mas ngiranya aku yang harus bayarin?”
“Nggak gitu. Aku cuma ... ngasih tahu aja. Takutnya WO bikin ribut kalau belum dibayar.”
“Tapi kenapa ngomongnya ke aku? Kan yang nerima duitnya ibunya Mas, bukan aku,” jawabnya tajam.
Aku terdiam. Suasana kamar mendadak terasa dingin.
Nita berjalan ke meja rias, mengambil botol parfum dan menyemprotkannya ke leher.
“Kalau Mas nggak bisa ngatur keuangan dari awal, jangan berharap aku yang beresin sisa-sisanya.”
“Nita, ini pernikahan kita. Aku juga punya harga diri. Aku gak minta—”
“Tapi Mas cerita!” potongnya cepat. “Dan itu sama aja. Mau minta atau nggak, aku jadi tahu Mas nggak sanggup nutup biaya nikahan kita sendiri.
Aku mengepalkan tangan.
“Nita…”
“Aku nikah sama Mas karena Mama bilang Mas punya masa depan cerah. Jadi tolong, jangan bikin aku nyesel baru beberapa jam setelah akad.”
Aku menatapnya lama. Dan untuk pertama kalinya sejak acara berakhir, aku merasa tertampar kenyataan.
Perutku mual. Kepalaku berat. Dan malam yang seharusnya jadi awal bahagia, malah berubah jadi peringatan.
10 menit kemudian.
Aku duduk di tepi ranjang, menatap jam dinding yang berdetak pelan. Sudah hampir tengah malam, dan aku sudah cukup lelah dengan segala drama soal pelunasan tadi. Tapi ini malam pertama kami, malam yang seharusnya jadi awal baru.
Nita keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, mengenakan piyama sutra warna merah marun. Ia berjalan pelan, naik ke ranjang tanpa banyak bicara. Wajahnya cuek, bahkan tak menoleh sedikit pun ke arahku.
Aku mendekat. “Nit… Mas tahu tadi kita sempat tegang. Tapi malam ini… Mas cuma pengen kita lupakan sejenak, bisa?”
Nita menghela napas dan akhirnya menoleh. Tapi bukan dengan senyum, melainkan ekspresi datar.
“Mas, aku lagi datang bulan.”
Aku mengerjap, terdiam sejenak. “Sekarang?”
“Iya. Tadi sore udah mulai,” jawabnya santai, lalu memalingkan wajah lagi sambil menarik selimut.
Aku terpaku. Malam pertama. Setelah pesta semewah itu. Setelah segala pengorbanan. Dan sekarang ini?
“Nita, kamu nggak kasih tahu dari tadi?” suaraku mulai meninggi sedikit.
“Lho, emang harus lapor juga? Lagian Mas juga lagi pusing soal WO, kan?” katanya santai, sambil membalikkan badan membelakangi aku.
Aku mendecak kesal. Ingin marah, tapi rasanya sudah habis tenaga. Aku hanya bisa duduk di tepi ranjang, menatap punggung istriku yang baru beberapa jam resmi jadi milikku, tapi terasa seperti tembok dingin yang sulit ditembus.
Malam pertama ini … gagal total.
*
Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, meski semalaman hampir tak bisa tidur. Nita masih pulas di sisi ranjang, wajahnya tenang seolah tak ada beban. Sementara aku, pikiranku berkecamuk.
Aku mengambil ponsel dari meja nakas dan mengecek pesan. Tak ada dari kantor. Tapi satu email masuk, dengan subjek yang langsung membuat jantungku berdegup kencang.
[ Pemberitahuan Perubahan Jabatan ]
Dengan tangan gemetar, aku buka email itu. Mataku menyusuri kalimat demi kalimat yang terasa seperti tamparan bertubi-tubi.
[ Dengan mempertimbangkan evaluasi kinerja terbaru serta beberapa laporan internal, maka kami memutuskan untuk menyesuaikan posisi Anda kembali ke jabatan sebelumnya, ini berlaku mulai tanggal 1 bulan depan.]
Tanganku gemetar.
"Apa-apaan ini…"
Selengkapnya di KBM app
Judul: Dikira Istri Melarat Ternyata Konglomerat
Penulis: Queensunrise
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Dikira Istri Melarat Ternyata Konglomerat "
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker