Siapa Suruh Membuangku.

Siapa Suruh Membuangku.


 Calon istriku ketahuan selingkvh di hari pernikahan kami. Aku terpaksa menikahi kakaknya—janda bercadar yang diceraikan karena katanya wanita itu jelek dan bukan p3rawan lagi di malam pertama nya. Tak disangka kalau istriku ternyata....


Part 2.


Tujuh tahun merantau di Kalimantan, aku akhirnya kembali dua bulan lalu untuk melamar Anggi lagi setelah kudengar kabar bahwa dia sudah menyelesaikan pendidikannya dan sudah bekerja dipenerbangan. Dia memang bilang bahwa dia ingin dilamar ketika sudah jadi pramugari. Jadi aku memenuhi permintaannya. Tentu saja, aku membawa mahar lima ratus juta, sesuai permintaan ibunya. Orang tuanya akhirnya setuju, dan hari ini adalah hari pernikahanku dengan wanita yang sangat kucintai.


Tak sabar rasanya ingin melihat pengantinku, hingga tanpa ragu aku ke ruang rias. Aku ditemani Om Beni dan Tante Rahmi. Kini, aku berdiri di depan pintu, tangan kanan terangkat, siap mengetuk. Namun, mendadak terhenti ketika aku mendengar suara-suara aneh—erangan pelan, dan napas tersengal.


Alisku berkerut. Aku mundur selangkah, mencoba meyakinkan diri bahwa aku hanya salah dengar. Tapi suara itu… semakin jelas. Om Beni dan Tante Rahmi juga mendengar suaranya. Aku lihat mereka saling pandang.


Perasaanku mulai tidak enak. Ada dorongan aneh di hatiku, campuran rasa takut dan curiga yang membuat dadaku berdegup kencang. Aku menempelkan telinga ke pintu, dan napasku langsung tercekat saat suara tawa pelan terdengar dari dalam. Itu suara Anggi. Tapi bukan suara tawa yang bahagia—lebih seperti suara tawa menggoda.


Aku membuka pintu pelan, dan pemandangan yang kulihat seketika menghancurkan seluruh duniaku.


Anggi… sedang bersandar di meja rias, kebaya putihnya setengah terbuka, dan seorang pria sedang berdiri di depannya, tangan pria itu menggenggam pinggang Anggi, bibir mereka saling bertautan.


Darahku membeku. Aku berdiri mematung di ambang pintu, napasku tercekat. Aku ingin berteriak, tapi suara itu tertahan di tenggorokan. Tanganku bergetar. Ini tidak mungkin. Aku pasti sedang bermimpi buruk. Tapi pemandangan di depanku terlalu nyata untuk menjadi mimpi.


"Anggi!" teriak Om Beni yang terlihat marah. Beliau kaget. Tante Rahmi juga kaget tapi beliau cuma diam saja.


Anggi dan pria itu menoleh bersamaan. Anggi terlihat panik sampai dia buru-buru menarik kebaya yang melorot dibahunya. Pria di sebelahnya terkejut menatap kami.


"K-Kamu… sedang apa Anggi?" tanyaku, suaraku serak.


Anggi yang tadinya panik, kini tampak biasa saja. Bahkan dia tidak menunjukkan rasa bersalah.


Aku mendekatinya, dada terasa sesak. "Kita akan menikah sebentar lagi dan kamu malah mesra-mesraan di sini sama pria lain."


Anggi menyeringai. "Menikah? Kamu pikir aku benar-benar mau menikah denganmu karena cinta?"


Aku terdiam, jantungku berdetak tidak karuan. "Maksudmu apa?"


Anggi melepaskan diri dari pelukan pria itu, lalu berjalan mendekat ke arahku. "Kaelan, kamu ini lucu. Kamu pikir aku akan puas hanya dengan mahar lima ratus juta? Itu bahkan gak cukup untuk membeli tas favoritku."


Aku menatap Anggi, mencoba mencari secuil kejujuran di matanya. Namun, yang kutemukan hanyalah penghinaan dan kebencian yang begitu nyata.


"Tujuh tahun lalu, aku pergi ke Kalimantan demi memenuhi keinginan ibumu. Aku bahkan meninggalkan ibuku seorang diri demi kamu. Aku melakukannya karena aku pikir kamu mencintaiku," ucapku, suaraku bergetar menahan emosi.


Anggi terkekeh sinis. "Cinta? Kaelan, cinta itu gak bisa dimakan. Cinta gak bisa bikin aku bahagia."


Aku menelan ludah, dada terasa sesak. "Apa lima ratus juta itu tidak cukup sampai kamu melakukan ini?" tanyaku, bibirku bergetar.


Anggi menyeringai, matanya penuh ejekan. "Lima ratus juta untuk maharku? Serius? Itu bahkan lebih murah dari harga mobil yang dia kasih buat aku! Aku menerima lamaranmu pun cuma karena kasihan."


"Kasihan?" Aku kaget dengar kata-katanya itu.


Orang tuanya cuma diam saja. Entah karena malu melihat anak perempuannya ketahuan selingkuh atau karena mereka tidak peduli sama sekali.


"Kamu pikir dengan lima ratus juta, kamu bisa jadi suami yang layak buat aku?"


Anggi mendekat, lalu kembali bicara lantang di depanku. "Kamu itu cuma penjual ikan yang penghasilannya gak seberapa, Kaelan. Sedangkan aku sudah jadi pramugari dan aku punya bisnis skincare. Tiap bulan aku dapat dua puluh juta ditambah gajiku sepuluh juta sebagai pramugari. Mana bisa dibandingkan dengan kamu yang cuma bisa dapat lima ratus juta selama lima tahun merantau di Kalimantan. Kalau mau nikahi aku, ya kamu harus ngasih mahar lima milliar bukan lima ratus juta. Terus harus punya penghasilan yang lebih banyak dari aku. Jadi please deh, jangan bermimpi bisa menikahiku."


Astaga, aku tidak menyangka Anggi bisa sesombong ini, sampai-sampai mengungkit jumlah uang yang dia dapatkan setiap bulan. Padahal, jumlah itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penghasilan dari bisnisku yang sedang kukembangkan di Kalimantan dan di Jakarta. Itu hanya angka kecil yang bisa kudapatkan dalam hitungan menit. Tapi aku memang tidak suka menyombongkan diri, makanya aku tidak pernah membahas soal uang yang kuhasilkan.


Aku menoleh ke pria di belakang Anggi. Pria itu tersenyum dingin, lalu menyandarkan tubuh ke meja rias. "Anggi itu tidak mau menikah dengan pria miskin. Dia cuma mau nikah sama aku saja."


"Deni, apa ini alasan kamu menceraikan Menur?" Om Beni tiba-tiba bertanya pada pria itu, membuat aku langsung tahu bahwa pria ini adalah mantan suaminya Menur, kakaknya Anggi.


"Maaf, Om. Ini bukan alasan utama aku menceraikan Menur, tapi karena anak Om memang tidak bisa memuaskanku. Sudah jelek, cuma seorang pembantu, bukan perawan lagi," celetuk pria itu tanpa sedikit pun rasa bersalah.


Betapa entengnya ia menghina mantan istrinya, seolah Menur tidak lebih dari barang yang bisa diremehkan. Mungkin dia begitu marah karena Menur bukan perawan lagi saat menikah dengannya, tapi apa harus menghinanya seperti itu di depan orang tuanya sendiri.


Saat itu, Menur muncul. Wanita bercadar itu tidak kaget sama sekali. Dia tetap tenang, seakan hinaan tadi tidak berarti apa-apa baginya.


Sementara aku? Aku sudah sangat marah. Tanganku mengepal, dadaku bergemuruh, ingin rasanya menghantam wajah pria brengsek itu di tempat. Tapi coba kutahan karena di luar ada ibuku. Aku tidak mau ibu melihatku menggila.


Aku menoleh ke arah Anggi, berharap dia akan membela kakaknya, atau setidaknya menyangkal semua ini. Tapi yang kulihat justru hal yang lebih menyakitkan—Anggi tertawa. Seolah semua ini hanyalah lelucon baginya.


Pak Beni memijat pelipisnya. "Anggi, ini keterlaluan!"


Anggi mengangkat bahu. "Keterlaluan? Aku hanya jujur Pak. Lagipula, kenapa repot-repot? Kalau bapak memang ingin Kaelan jadi bagian keluarga kita, kenapa tidak nikahkan dia saja dengan Mbak Menur? Mereka cocok. Satunya penjual ikan, satunya pembantu."


Aku terkejut. "Apa?"


Pak Beni menatapku, kali ini dengan raut serius. "Kaelan. Bapak benar-benar minta maaf atas perilaku Anggi. Sekarang situasinya jadi seperti ini. Kalau kamu mau batalkan pernikahannya, tidak apa-apa Nak. Bapak akan kembalikan seserahan dan akan mengganti uangmu yang habis di pesta ini."


"Pak, para tamu sudah ada di luar. Ibu banyak undang teman-teman ibu. Malu kalau pernikahannya gak jadi. Lebih baik, ikuti sarannya Anggi saja. Nikahkan Kaelan dengan Menur," sahut Tante Rahmi.


Menur menundukkan kepala, wajahnya tertutup cadar hitam yang sederhana. Aku tahu Menur bukan orang yang buruk. Tapi aku… diperlakukan seperti sampah, lalu sekarang mereka menyodorkan Menur kepadaku seperti aku ini pengganti cadangan?


Aku tertawa kecil, tapi tawa itu penuh dengan rasa sakit. Aku menatap Pak Beni, lalu Tante Rahmi, dan terakhir Anggi yang masih tersenyum puas. "Jadi, setelah aku dihina, dipermalukan. Kalian pikir aku mau terima Menur seperti hadiah hiburan?"


Pak Beni menghela napas. "Kaelan, kami hanya ingin menyelamatkan nama baik keluarga."


Aku menatap Menur. Dia masih menunduk, tidak bicara sedikit pun. Aku bisa melihat tubuhnya bergetar pelan di balik kain cadar hitamnya. Menur pasti juga tidak nyaman dengan situasi ini.


Aku mengepalkan tangan. "Aku bukan laki-laki yang bisa dibuang dan diambil kembali sesuka hati."


Aku menatap Anggi tajam. "Dan kamu, Anggi… kamu akan menyesali semua ini."


Aku benar-benar tak menyangka Anggi mengkhianatiku. Selama tujuh tahun, komunikasi kami memang cukup baik meski hanya sebatas pesan WhatsApp dan telepon. Kami tak pernah bertengkar, tapi setahun terakhir dia mulai berubah. Pesanku sering dibalas lama, dan aku mengira dia hanya sibuk. Mungkin perubahannya saat itu karena dia sudah punya pria lain di belakangku.


Judul: Siapa Suruh Membuangku.

Penulis: Dewi Mutia. Dewi Mutiawietular 

Baca selengkapnya DISINI

Perhatian: Klik iklan sebanyak 4 atau 5 kali untuk melewati iklan !

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Siapa Suruh Membuangku."

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel