“Ya Allah, wajah Teh Aliyah sama Teh Devi pucat sekali,” ucap Akbar saat kami baru saja sampai ke rumah.
“Gimana gak pucat. Semua ini karena ulah istrimu!” ucap Aliyah dengan nada menggebu-gebu.
Bukannya kesal, aku justru ingin tertawa melihat wajah mereka yang seperti mayat hidup. Duh, Gusti. Maafkan lah hamba yang sudah zalim pada kedua orang ini.
“Benar, Bar! Gara-gara istrimu itu, aku sama Tetehmu gak jadi memburu diskon di mal.”
“Kenapa nggak jadi?” tanya Akbar lagi.
“Ya pikir saja sendiri! Mana bisa kita naik eskavator dengan keadaan puyeng karena habis mabuk kendaraan!”
“Hahahaha ….” Sungguh, aku tidak bisa menahan tawa lagi.
“Eskalator, Teh Devi. Eskalator!” ucapku.
“Malah seuri! Puas kamu bikin kita begini?” bentaknya membuatku mengecilkan volume tawa.
“Tapi kenapa jadi nyalahin Neng Salma, Dev? Neng Salma kayaknya gak muntah, ya?” tanya Ibu.
“Asal Ibu tahu. Menantu kesayangan Ibu lah yang tadi nyetir mobil. Rasanya kami hampir ma—ti karena dia bawa mobil dengan kecepatan yang begitu tinggi!” ungkap Aliyah membuat Ibu dan Akbar menatapku bersamaan.
“Neng Salma bisa bawa mobil?” tanya Ibu dengan wajah penasaran.
“A-ah, iya, Bu. Dulu Salma suka bantuin Bapak nyetir mobil majikan yang punya konveksi.” Lagi-lagi aku terpaksa berbohong.
“Ya Allah, gak nyangka Ibu. Hebat banget Neng.”
“Ih! Ibu kok malah muji dia, sih? Dev, ayo kita mandi. Kita makan yang banyak biar cepat hamil!” kata Aliyah sembari melirikku dengan tatapan kesal.
Mendadak aku jadi ingat tantangannya kembali. Bagaimana kalau mereka yang lebih dulu hamil? Beruntungnya sudah satu minggu ini Kang Aris dan Kang Edwin tak ada di rumah, karena keduanya pergi kerja ke Sulawesi dalam sebuah proyek pembangunan.
Ya, setidaknya Aliyah dan Devi tidak dibuahi suaminya dalam waktu yang cukup lama, sehingga aku bisa memikirkan cara untuk memenangkan tantangan.
“Kok malah ngelamun, Neng? Ayo, masuk dulu. Ibu sudah buatkan soto ayam, tadi pulang kerja Akbar bawa ayam soalnya.”
“O-oh, iya, Bu. Terima kasih banyak.” Aku menyahut sambil tersenyum, sampai di mana tatapan ini tak sengaja bertemu dengan kedua mata bulat milik lelaki itu.
***
“Mau tidur di sana?” tanyaku terdengar begitu konyol saat Akbar rebah di atas lantai yang dilapisi karpet plastik. Tapi entah kenapa malam ini aku merasa kasihan padanya. Rasanya begitu kejam saja membiarkan dia rebah di tempat yang keras dan dingin setiap hari, padahal kamar ini adalah miliknya, kalau dipikir-pikir kenapa dia yang harus mengalah?
“Apa aku harus tidur di luar?”
“A-ah, bukan seperti itu. Kalau mau tidur di sini yaa di sini saja. Aku bisa tidur sama Ibu.”
“Nanti Ibu curiga.” Dia menjawab singkat sambil berbaring dengan posisi membelakangi.
“Ya aku bisa cari alasan.”
“Tidak usah,” jawabnya dingin. Akupun mengembuskan napas, kenapa dia mendadak jadi pasif seperti ini? Padahal saat masih bekerja di Jakarta sikapnya tak seperti ini.
“Ya sudah, kalau begitu tidur di sini saja. Berdua.” Sebenarnya aku cukup takut untuk berkata demikian, namun aku benar-benar merasa kasihan.
“Tidak usah, nanti kamu jijik tidur sama orang mis—kin sepertiku.” Jawabannya membuatku menoleh kembali dengan cepat.
“Kok kamu bicaranya begitu?”
“Memang faktanya seperti itu.”
“Fakta apa?” tanyaku lagi benar-benar bingung.
Akbar tak lagi menyahut, tapi dia malah bangkit lalu duduk seraya menatapku.
“Aku tahu kalau kamu bukan orang biasa.” Dadaku berdebar tak karuan mendengar dia berkata demikian.
“Bukan orang biasa? Jadi, maksudmu aku bidadari?” tanyaku mencoba mencairkan suasana yang terasa begitu tegang. Bukannya tersenyum, Akbar malah menunduk cukup lama sebelum akhirnya kembali mendongak.
“Aku tidak tahu apa alasanmu mau menikah denganku, selain karena untuk menjadikanku pengantin pengganti di waktu itu. Tapi …,” katanya menggantungkan kalimat.
“Terima kasih sudah menyayangi Ibuku dan memperlakukan beliau layaknya manusia,” lanjutnya sambil menatapku sembari tersenyum tipis.
“Aku izin istirahat lebih dulu.” Setelah cukup lama terdiam dia kembali berkata, kemudian membaringkan tubuhnya seperti tadi.
Sepertinya aku harus segera menghubungi Bapak untuk menanyakan perihal ini.
***
“Bu, Salma izin ke konter dekat terminal, ya. Ponsel Salma tiba-tiba ngeblank ini.” Aku mendekati Ibu yang tengah menjahit sesuatu.
“Ya Allah, iya, iya, Neng. Sama siapa?” tanyanya.
“Sendiri saja, Bu. Ibu mau ikut?” tawarku.
“Enggak, enggak. Maksudnya diantar Akbar aja atuh, dia ‘kan lagi libur.”
“Eh, enggak—”
“Bar! Akbar! Lagi apa, Jang?” Ibu malah tak menggubris perkataanku.
“Ada apa, Bu?” Akbar melongokkan diri dari balik dapur.
“Lagi apa?” tanya Ibu lagi.
“Mau ngasih makan ayam, Bu.”
“Ini diantar dulu Neng Salmanya.”
“Antar ke mana?” tanyanya seraya menatapku sekilas.
“Kamu mah, istri mau ke luar kok nggak tahu. Makanya jangan ngurus ayam terus. Biar Ibu aja yang kasih mereka makan. Sudah, mandi terus ganti baju yang wangi. Neng, tunggu sebentar ya. Jangan berangkat sendiri.” Ibu masih bersikukuh, dan aku tidak bisa menolak.
“Mau ngapain ke konter?” tanya Devi yang tiba-tiba keluar dari kamar.
“Benerin hape.” Aku menjawab singkat.
“Hahaha, lagian hapemu itu jadul banget kayaknya. Ganti dong kayak punyaku. Nih! Yang ada gambar apelnya!” katanya dengan sombong.
Aku hanya mengembuskan napas, malas meladeninya. Padahal ponsel dia sendiri sudah tertinggal enam generasi kalau dilihat dari modelnya.
Devi terus saja mengoceh, membanggakan dirinya di depanku dan Ibu. Mulutnya hanya berhenti berbusa saat Akbar kembali menampakkan diri.
“Sudah selesai, Bar?” tanya Ibu, lelaki itu hanya mengangguk, kemudian dengan begitu datar mengajakku ke depan sana.
Setelah kembali berpamitan akupun mengekori lelaki bertubuh tinggi itu. Perawakan Akbar memang bisa dibilang cukup gagah dibanding kedua kakaknya, Kang Aris dan Kang Edwin.
“Beneran mau diantar?” tanyanya tiba-tiba saat hanya kami berdua yang berada di depan teras.
“Memangnya kenapa?” tanyaku balik dengan ekspresi wajah judes.
“Takut malu aja naik motor butut!” jawabnya sambil menghidupkan motor yang memang sudah terkesan jadul itu, tapi jujur aku tidak malus ama sekali.
“Ya kalau gak mau ngantar gak usah!” Aku berlagak tak butuh, tapi dia malah diam dan terus mencoba menghidupkan motornya.
“Ayo, naik.” Dia memberi perintah. Entah kenapa aku ingin tersenyum namun sebisa mungkin menahannya.
Setelah motor ini menembus jalan raya, beberapa kali aku menarik napas. Mungkin ini kali pertama aku dibonceng oleh lelaki lain selain Bapak, hingga rasanya menjadi aneh seperti sekarang.
Selama perjalanan kami tak bertukar kalimat sedikit pun, dan itu membuat suasana semakin terasa canggung.
“Eh?” ucapku spontan saat Akbar tiba-tiba saja memelankan laju kendaraannya.
“Seperti Mahira.” Aku mendengar gumaman Akbar, lalu memicingkan mata pada wanita yang terseok-seok di samping jalan.
“Mahira? Astagfirullah!” ucap Akbar saat menghentikan motornya setelah berada di samping wanita itu, aku sendiri ikut syok karena melihat wajahnya yang lebam bahkan hidungnya berdarah-darah.
“Ak—bar ….” Mahira memanggil nama suamiku dengan begitu sedih, dia langsung ambruk terduduk.
Aku dengan Akbar langsung turun dari motor, bahkan lelaki di sampingku itu langsung berjongkok di hadapan Mahira.
“Kamu kenapa? Astagfirullah. Kamu kena begal? Dirampok?” Mahira langsung menggeleng setelah mendengar pertanyaan Akbar.
“Tolong aku, Bay. Tol—long!” katanya tersendat-sendat, bahkan tangannya memegangi lengan atas suamiku.
“Aku dipuku—li suamiku, Bay. Aku mau pulang ke rumah Mama, tolong ….” rengeknya terdengar pilu.
“Yaa Allah. Iya, iya. Aku cariin angkot dulu. Sebentar!” Akbar hendak bangkit, namun Mahira menariknya hingga membuat suamiku kembali ke posisi semula.
“Nggak, Bay!” Mahira menggeleng.
“Aku gak mau naik angkot. Aku mau pulang sama kamu,” pintanya membuat mataku melotot.
Judul : Rahasia Menantu Bungsu
Penulis : Azu Ra
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Rahasia Menantu Bungsu prt9"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker