Rumah yang Retak Tanpa Suara

Rumah yang Retak Tanpa Suara


 "Rumah yang Retak Tanpa Suara"


Pagi itu seperti biasa. Diah menyiapkan sarapan untuk suaminya, Reza, dan putri kecil mereka, Nayla. Dapur dipenuhi aroma telur dadar dan roti panggang. Di ruang tengah, suara tawa Nayla membuat pagi mereka hangat.


Diah (tersenyum lembut):

“Pa, sarapan dulu sebelum telat. Aku bikinin teh manis kesukaan kamu.”


Reza (menyambut dengan senyum):

“Terima kasih, Ma. Kamu tuh memang istri terbaik.”


Diah tertawa kecil, lalu duduk menemani Reza sarapan. Bagi orang luar, rumah tangga mereka sempurna. Reza adalah pria lembut, penyayang, dan bertanggung jawab. Diah pun dikenal sebagai istri yang setia, penyabar, dan penuh kasih.


Tapi semua mulai berubah sejak Diah menemukan secarik kertas di saku kemeja Reza yang hendak ia cuci. Sebuah catatan jadwal imunisasi bayi. Namanya bukan Nayla.


Diah (berbisik):

“Siapa... Arjuna Reza Putra?”


Hatinya berdebar. Awalnya ia mencoba menenangkan diri. Tapi naluri seorang istri dan seorang ibu tak bisa dibungkam. Malam itu, saat Reza tertidur, Diah membuka ponselnya. Ia tak pernah iseng sebelumnya, tapi rasa penasaran bercampur cemas memaksanya melakukannya.


Di galeri tersembunyi, ia menemukan puluhan foto. Reza bersama seorang perempuan dan bayi laki-laki yang mirip sekali dengannya.


Keesokan harinya, Diah diam. Ia tidak menangis, tidak bertanya, tidak meledak. Ia hanya menatap suaminya lama sekali saat mengantarkan ke pintu.


Reza (kebingungan):

“Kenapa, Ma? Ada yang salah?”


Diah (senyum samar):

“Enggak, cuma... lagi mikir aja, betapa beruntungnya aku punya kamu.”


Hari itu, Diah memutuskan menemui mertua. Ia butuh jawaban. Tapi tidak pernah ia duga, bukan jawaban yang ia dapat, melainkan kepastian yang menghancurkan.


Ibu Reza (menunduk):

“Maafkan kami, Diah. Kami pikir Reza akan memberitahumu sendiri... Tapi sudah dua tahun dia menikah siri dengan Anya. Mereka punya anak. Kami tak berniat menyakitimu.”


Diah (terisak):

“Dua tahun...? Selama ini aku cuma boneka pajangan untuk dunia, ya Bu?”


Malamnya, Diah duduk di ruang tengah, menggenggam erat boneka Nayla. Reza pulang seperti biasa, tapi kali ini disambut keheningan menusuk.


Reza:

“Diah...? Kenapa kamu diam?”


Diah (tanpa menatap):

“Kamu ingat hari ulang tahun pernikahan kita yang keempat?”


Reza:

“Ya... tentu, sayang.”


Diah (menatapnya tajam, air mata menetes):

“Itu hari kamu menikah dengan dia, kan? Yang kedua. Di belakang aku.”


Reza terdiam. Dunia seakan runtuh.


Reza:

“Diah... aku bisa jelaskan...”


Diah (memotong, lirih tapi tajam):

“Apa yang perlu dijelaskan dari pengkhianatan dua tahun lamanya, Reza?”


Reza (menangis):

“Aku tetap cinta kamu... aku nggak mau kehilangan kamu dan Nayla...”


Diah:

“Lucu, ya. Kamu bilang cinta sambil memelihara kebohongan dan rahasia besar... selama dua tahun. Aku bukan istri kedua. Aku bahkan bukan prioritas pertamamu. Aku hanya panggung, agar orang melihatmu sebagai suami hebat.”


Cerita mereka tak lagi sama. Diah tak langsung meninggalkan Reza. Ia butuh waktu. Tapi yang pasti, cinta yang dulu dibangun dengan percaya, kini retak oleh luka yang tak kasat mata.


Sudah seminggu sejak malam itu. Rumah yang dulu penuh tawa kini menjadi ladang keheningan. Reza mencoba bersikap seperti biasa, seolah berharap semuanya akan kembali seperti dulu. Tapi Diah tahu, tidak ada “dulu” lagi. Yang ada hanya sekarang yang menyakitkan dan masa depan yang buram.


Di tengah malam, Diah sering terbangun. Menatap Nayla yang terlelap di pelukannya.


Diah (berbisik pada diri sendiri):

“Apa aku harus bertahan demi kamu, Nak? Atau pergi agar kamu tahu ibumu pernah memilih untuk tidak dibohongi?”


Suatu sore, Diah akhirnya memberanikan diri bicara. Kali ini bukan dengan tangisan, tapi dengan suara yang tenang... dan patah.


Diah:

“Reza, aku ingin kita bicara. Bukan sebagai istri dan suami. Tapi sebagai dua orang dewasa yang saling menyakiti.”


Reza (duduk gugup):

“Oke... Aku dengar.”


Diah:

“Kenapa kamu nikah lagi? Kenapa kamu gak bicara waktu itu? Apa aku kurang?”


Reza (menunduk, pelan):

“Bukan kamu yang kurang, Diah. Aku yang pengecut. Aku terlalu takut kehilangan dua-duanya. Kamu dan... dia.”


Diah (menahan isak):

“Dan kamu pikir kamu bisa simpan dua dunia itu dalam satu genggaman? Tanpa ada yang terluka?”


Reza:

“Awalnya aku pikir bisa. Tapi sekarang aku sadar... aku kehilangan kamu.”


Diah:

“Bukan sekarang. Kamu kehilangan aku sejak hari pertama kamu memilih menikah diam-diam. Tapi aku yang baru sadar sekarang.”


Beberapa hari kemudian, Diah datang ke rumah ibunya. Membawa Nayla dan satu koper kecil. Ia tak berniat pergi selamanya. Tapi ia tahu, dirinya butuh jarak untuk berpikir.


Ibu Diah (menangis memeluknya):

“Kamu nggak sendiri, Nak. Kamu perempuan kuat. Luka ini akan sembuh, walau lambat.”


Waktu berjalan. Reza sering menghubungi, mengirim pesan panjang berisi penyesalan, permintaan maaf, janji baru. Tapi Diah tidak menjawab satu pun.


Hingga suatu malam, Diah duduk sendiri di teras rumah ibunya. Ia membuka ponsel, membaca ulang satu per satu pesan Reza. Lalu membuka album foto Nayla. Ada foto Reza menggendong anak mereka, tertawa bersama.


Air matanya menetes. Bukan karena rindu, tapi karena kehilangan. Ia kehilangan masa lalu yang dulu begitu ia percaya. Dan ia tahu, meski Reza bisa menyesal, tapi yang rusak... tak bisa kembali utuh.


Sebulan setelah Diah pergi, Reza datang.


Ia berdiri di depan rumah dengan wajah penuh luka. Tak ada lagi keangkuhan. Yang tersisa hanya seorang suami yang kehilangan arah.


Reza:

“Aku gak akan minta kamu balik, Diah. Aku datang karena aku tahu... aku bukan lagi rumah yang layak buat kamu. Tapi... bolehkah aku tetap jadi ayah untuk Nayla?”


Diah (dengan mata sembab):

“Kamu tetap ayah Nayla. Tapi untuk jadi suamiku... aku belum tahu, Reza. Aku butuh waktu. Banyak waktu.”


Reza (menangis):

“Aku akan tunggu. Meski kamu gak balik, aku akan tetap jadi ayah yang baik. Dan... semoga kamu bisa bahagia. Walau bukan sama aku.”


Dan di situlah cerita ini berakhir. Bukan dengan perpisahan yang gegap gempita, bukan juga dengan pelukan dan kata “maaf” yang menyatukan kembali. Tapi dengan keheningan—dan keputusan untuk menyembuhkan luka masing-masing.


Karena kadang... cinta tak selalu cukup untuk membuat seseorang tetap tinggal.

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Rumah yang Retak Tanpa Suara"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel