RAHASIA MENANTU BUNGSU

RAHASIA MENANTU BUNGSU

Klik SINI untuk melanjutkan cerita lengkapnya 



 “Mbak Salmaaaa!” Anis langsung berteriak dan memelukku dengan begitu erat.


“Ssssttt! Kalau di sini jangan panggil namaku kencang-kencang, Nis!”


“Loh, kenapa? Oh, iya-iya. Maaf, Mbak. Aku lupa.”


“Kamu ini, kirain berapa tahun gak ketemu udah jadi perempuan kalem.”


“Hah! Gak bisa, Mbak! Aku malah ngebatin. Mending apa adanya aja, deh. Toh kalau memang jodoh, Ilham bakalan tetap jadi suami aku. Aku pun gak harus ngerubah kepribadianku biar disukain sama orang, ‘kan?” katanya terdengar bijak, tapi entah kenapa aku malah ingin tertawa.


“Jadi kamu masih ngincar si Ilham?” tanyaku sambil membenarkan kerudungnya yang meleyot ke sana-sini.


“Udah pasrah sih sebenarnya. Mbak, ngapain sih benerin kerudung aku? Ini emang udah begini dari sananya, style ini! Pashmina meleyot!”


“Hah? Baru tahu aku,” ucapku sambil cekikikan.


“Jadi, kamu ditugasin di kantor ini, Nis?” tanyaku.


“Iya, Mbak. Tadinya masih tetap di kantor utama, tapi aku ngajuin permintaan sama Bapaknya Mbak Salma. Eh diACC! Aku pengen suasana baru, biar bisa ketemu Mbak juga.” Aku tersenyum, kemudian melihat sekeliling ruangan yang wangi catnya masih tercium ini.


“Kapan kantornya mulai buka, Mbak?”


“Aku nunggu perintah Bapak aja, Nis.”


“Nunggu perintah Bapak apa nunggu Pak Akbar pulang biar bisa kerja bareng?” katanya menggodaku.


“Kamu ini, kayak gak pernah dengar curhatanku saja, Nis.” Aku menyahut sambil duduk di kursi pojok dekat jendela, kutatap pula sejenak pemandangan di bawah sana.


“Kenapa sih, Mbak? Pak Akbar itu guanteng, lho! Kalau dipoles dikit, dia bisa lebih macho dari mantanmu yang entah ke mana itu.” Anis bergumam, aku hanya diam namun hati ini mengiyakan.


Akbar memang memiliki paras yang tak kalah menawan, tapi bagaimana pun aku belum bisa mencintainya, bahkan aku sendiri tidak tahu perasaannya padaku itu bagaimana.


“Lagi pula aku gak bisa setiap hari ke kantor, Nis. Aku pasti mantau saja dari jauh, aku serahkan semuanya sama kamu. Kalau aku ke sini setiap waktu, bisa-bisa orang curiga, terlebih kedua kakak iparku kepo semua.”


“Iya, aku tahu, Mbak. Tapi kenapa sih Mbak Salma ini harus pura-pura jadi orang gak punya? Memangnya gak bosan dipandang rendah terus?”


Aku tersenyum, lalu menyapukan pandangan padanya.


“Dari dulu, keluargaku sudah mengajarkan kesederhanaan, Nis. Dengan begitu, aku bisa tahu siapa yang tulus sama aku.”


“Aku tulus, gak?” tanyanya.


“Kalau kamu mah, moduuuus!”


“Ih, Mbak Salmaaa!” rengeknya seperti biasa.


***


“Assalamu’alaikum. Teh Ai, saya mau beli telur, ya.”


“Waalaikumussalam, berapa kilo, Neng Salma.”


“Teh, sekalian, ya. Aku sekilo,” ucap seseorang di samping membuatku refleks menoleh.


“Eh, Teh Salma, ya?” tanyanya.


“Iya.” Aku menganggukkan kepala dengan sopan.


“Kenalin, saya Mahira. Temannya Kang Akbar.” Sejenak aku mengernyitkan dahi, kemudian membalas uluran tangannya.


“Oh, iya. Salam kenal.”


“Saya sering dengar nama Teteh sejak Teteh pindah ke kampung sini, tapi baru bertemu sekarang. Ternyata Teteh cantik juga.”


“O-oh, terima kasih. Tetehnya juga cantik,” kataku terdengar cringe.


“Ini, Neng, telurnya. Punya Neng Salma juga satu kilo?” tanya Teh Ai, aku pun mengangguk.


“Duluan ya, Teh.” Dia berujar lagi, aku hanya menganggukkan kepala.


“Neng Salma, memangnya gak tahu?” ucap Teh Ai tiba-tiba.


“Gak tahu apa, Teh?”


“Itu, Mahira. Dia ‘kan mantan tunangannya suami Neng. Jang Akbar.”


“M-mantan tunangan?” ucapku terkejut.


***


“Bu, ini ada opor ayam. Dari Mahira.” Mendengar nama itu aku langsung menoleh.


“Uh! Baunya wangi sekali, Mahira memang pintar masak, ya.” Aliyah menimpali sembari mengambil alih mangkuk pemberian Devi.


“Iya, kenapa sih dulu Akbar gak jadi nikah sama Mahira aja? Udah sopan, lembut, pintar masak lagi.” Devi berujar, sedang aku hanya bisa memandangi Ibu yang terlihat bingung.


“Tapi aku gak mau,” ucap Akbar yang tiba-tiba datang tanpa mengucap salam. Dia memang baru pulang kerja, setelah kantor cabang di sini buka, Akbar pun kembali tinggal di desa ini.


“Aneh kamu, Bar! Padahal Mahira cantik, soleha lagi,” kata Devi lagi.


“Tolong jangan sebut nama itu lagi di hadapan saya, apa lagi di hadapan istri saya.”


“Uhukkk!” Demi Allah aku kaget mendengar Akbar memanggilku dengan sebutan demikian.


“Bar, Ibu jadi pusing. Lebih baik kita makan saja, ya. Neng Aliyah, Neng Devi. Opor dari Neng Mahira dimakan saja, ya.” Ibu berujar dengan tenang, hingga membuat suasana tak lagi tegang.


***


“Jadi, Mahira itu mantan kamu?” tanyaku setelah beberapa lama bergeming di dalam ruangan ini.


“Orang nanya kok gak dijawab,” omelku kesal, lalu kembali meraih buku milik penulis terkenal, Asma Nadia.


“Bukan kah aku harus diam?” tanyanya, memang akhir-akhir ini Akbar tak seperti biasanya yang usil dan jahil.


“Ya kalau ditanya ‘kan wajib menjawab,” ucapku tanpa meliriknya.


“Aku tidak suka membahas masa lalu,” jawabnya lagi membuatku mendecak pelan.


“Sebenarnya ada yang ingin aku katakan.” Aku kembali menutup buku, dan kini menatapnya dengan cukup serius.


Akbar yang terlihat memangku note book juga memandangiku.


“Sebenarnya aku kesal melihat Ibu selalu diperlakukan semena-mena oleh kedua menantunya itu. Aku sudah mengajak Ibu untuk pindah, tapi Ibu tetap tidak mau. Katanya Ibu tidak mungkin meninggalkan rumah ini walau sertifikatnya sudah digadai oleh Kang Aris.”


“Ibu juga bilang, kalau Kang Aris memberikan bunga setiap bulannya. Aneh sekali saudaramu itu!” ucapku terengah-engah karena merasa emosi.


“Tapi kemarin, Aliyah menantangku. Siapa yang di antara kita hamil lebih dulu, dia lah yang akan menjadi pemenangnya. Dia akan tinggal di sini bersama Ibu, dan yang kalah akan angkat kaki.”


“Kamu terima?” tanyanya cepat.


“Ya … mau bagaimana lagi?” ucapku sambil menatapnya sekilas.


Akbar terdiam, mungkin ikut bingung. Tapi tiba-tiba dia bangkit, meninggalkan note booknya begitu saja di atas meja.


“Mau ngapain?” tanyaku takut saat dia mendekat.


“Akbar! Jangan sekarang! Aku benar-benar belum siap!” kataku semakin tak karuan saat dia mencondongkan setengah badannya.


“Jangan, aku mohon ….” Aku meminta seraya memejamkan mata.


Ya Allah, aku benar-benar tidak bisa. Apa dia akan melakukannya dengan paksa?


Judul : Rahasia Menantu Bungsu

Penulis : Azu Ra


RAHASIA MENANTU BUNGSU - Azu Ra

Hidup Asih atau yang biasa dipanggil Cici penuh derita setelah kedua anaknya menikah dengan menantu-...


Klik SINI untuk melanjutkan cerita lengkapnya 

DISINI

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "RAHASIA MENANTU BUNGSU"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel