“Ya ampun, Mak Cici. Itu belanjaan siapa? Belanjaan Neng Aliyah, ya? Apa belanjaan Neng Devi?”
—————SALMA POV—————
“Saaah!” Aku menghela napas dalam, segala rasa berkecamuk di dalam dada.
Bagaimana tidak? Aku harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak kucinta, bahkan tak kukenal sebelumnya.
Dia adalah Muhammad Akbar, seorang pemuda yang berasal dari keluarga biasa saja. Tapi bagaimana pun aku harus menerima skenario Tuhan yang penuh dengan kejutan ini. Terlebih, aku tidak ingin membuat Ayah dan Nenekku malu.
Undangan sudah tersebar, tapi tiba-tiba Gilang menghilang begitu saja. Bahkan sampai detik ini, nomornya masih tak bisa dihubungi.
“Bapak gak mau menanggung malu, semua sahabat dan kerabat sudah menerima undangan pernikahanmu, Salma. Jadi, terpaksa Bapak menikahkanmu dengan Akbar, a nak dari almarhum sahabat lama Bapak dulu.”
“Memangnya Bapak tega menikahkan Salma dengan lelaki yang tidak Salma kenal?” tanyaku mencoba bernegosiasi.
“Kan nanti bisa kenalan kalau udah nikah.”
“Pak—”
“Dia memang tidak sekaya raya Gilang, tapi dia lebih tampan dibanding lelaki be—jad itu. Bapak yakin kamu pasti suka.” Aku mengembuskan napas panjang, bingung harus menjawab apa. Bapak pasti lah malu jika pernikahan ini tak terjadi, secara sudah banyak sekali kawan sejawat beliau yang menyumbang da na secara suka rela untuk pernikahan a naknya ini.
“Tapi Salma punya syarat, Pak.” Aku berujar dengan serius.
“Syarat? Syarat apa, Nak?”
“Salma gak mau menikah di Kota, Salma mau hidup di sini saja!” ucapku. Bapak terdiam sejenak. Aku memang sudah mu ak hidup di kota, selain untuk menghindari ibu sambungku yang memiliki sikap menye balkan, aku juga ingin hidup damai di tempat ini.
“Ide bagus. Akbar ‘kan orang sini juga, jadi bisa mengadakan hajatan besar juga.”
“Nggak, Pak. Salma gak mau mengadakan pesta. Salma gak mau dipandang orang yang memiliki harta atau pun fasilitas. Salma ingin dipandang biasa saja. Salma mohon, Pak. Jangan han curkan apa yang sudah Salma bangun di sini. Salma bosan didekati manusia-manusia yang datang saat ada maunya saja.” Bapak terdiam lagi, kemudian menyunggingkan senyuman lebar sembari mengangguk.
“Baik, kalau begitu. Bapak gak akan merusak personal branding yang sudah kamu bangun. Tapi, mau tidak mau beberapa waktu ke depan nanti, kamu harus kembali ke kota bersama Akbar untuk mengadakan resepsi. Ya, untuk menghargai kawan-kawan Bapak yang sudah memberikan sum bangan maupun hadiah.” Tanpa pikir panjang, akupun menyanggupinya.
***
Selepas menikah dengan Akbar, aku dikejutkan dengan keadaan keluarga—maksudnya—sang Ibu, yang begitu memprihatinkan.
Sebenarnya, keluarga Akbar ini termasuk orang yang berada zaman dulunya, terlihat dari bangunan rumahnya yang semi permanen, khas rumah orang-orang berpunya di kala itu.
Tapi setelah kepergian kepala keluarga di rumah ini, perekonomian mereka berubah drastis. Apa lagi semenjak kedua kakak Akbar menikah dan mendatangkan kedua menantu yang sifatnya seperti ular-ular dari nera ka.
Ibu mertuaku tak lagi memiliki apa-apa, bahkan sert ifikat rumah ini saja katanya diga daikan pada an ak sulungnya untuk bi aya pemakaman mendiang ayah mertuaku dulu.
Kini, Ibu mertuaku hanya bisa bergantung pada an ak-an aknya. Dan yang sering diandalkan itu adalah an ak bungsunya, tak lain tak bukan adalah suamiku sekarang. Sedang Akbar sendiri hanya seorang serabutan, dia tak memiliki pekerjaan tetap imbas kuliahnya yang tak selesai.
“Akbar itu a naknya Pak Sigit, sahabat lama Bapak dulu. Dia sempat membantu Bapak saat perusahaan kita hampir bangkrut. Tapi setelah itu Bapak tak pernah bertemu dia lagi karena waktu itu Bapak harus pindah ke luar kota. Dan saat Bapak bisa pulang kampung, dia sudah nggak ada. Makanya Bapak pengen balas budi sama dia, Sal. Bapak mau Akbar kerja di kantor kita setelah kalian menikah. Tapi setelah cabang di Kecamatan Puncak Manggis selesai, Bapak mau pindahin Akbar lagi ke sana supaya kalian gak perlu jauh-jauhan,” ucap Bapak kala itu.
Makanya, sekarang Akbar masih berada di kota. Bekerja di perusahaan Bapak yang cabangnya sudah di mana-mana. Sedang aku memilih tinggal di sini, rasanya tidak tega meninggalkan Ibu mertuaku yang sudah renta dan sering kali dimusuhi kedua menantunya.
“Ya ampun, Mak Cici. Itu belanjaan siapa? Belanjaan Neng Aliyah, ya? Apa belanjaan Neng Devi?” tanya tetangga saat melewati rumah ini yang kebetulan terasnya tengah dipenuhi barang-barang elektronik baru.
“Bukan, Teh Ayu. Ini belanjaan menantu bungsu saya, Neng Salma.” Ibu menyahut.
“Hah? Masa sih? Emangnya punya dui t dari mana? Oh … dari Akbar yang baru pulang dari kota, ya?” tanyanya lagi seraya menatap Akbar yang baru saja datang, entah kapan dia pulang dari Kota, bahkan dia tak mengabari terlebih dulu.
“Bukan, Teh. Ini memang belanjaannya Neng Salma. Kalau Akbar memang baru pulang barusan.”
“Oh, iya-iya. Lagian kerja jadi OB mana bisa belanja sebanyak itu, kalau an ak Ibu yang di mini market sama di pega daian baru bisa.” Lagi, mereka hobi sekali menggun jing ibu mertuaku dan an ak bungsunya.
“OB kerjaan halal, Bu. Ua ngnya berkah walau ga jinya cuma sedikit,” balasku gemas.
“Mis kin saja sombong!” katanya lagi, kemudian berlalu sambil membawa payungnya yang berwarna merah itu.
“Sudah, jangan didengar, Neng. Lebih baik kita masuk, ya. Akbar, kamu juga pasti capek. Ibu lagi masak nasi, sebentar lagi matang. Ayo, ayo.” Ibu meraih kedua tangan kami, mendadak rasanya canggung saat pandanganku bertemu dengan pemilik mata bulat itu.
***
“Terima kasih, ya. Sudah menjaga Ibu di sini.” Refleks tanganku yang tengah menggulirkan layar ponsel terhenti saat mendengar kalimat itu.
“Bapakku apa kabar di sana?” tanyaku tanpa menatapnya. Jujur saja dia memang memiliki paras yang tampan, rambutnya sedikit ikal bergelombang, matanya bulat berbinar, bibirnya tidak tipis tidak juga tebal, hidungnya mancung dengan wajar. Tapi entah kenapa aku belum bisa jatuh cinta padanya.
“Baik, Bapak sangat baik.”
“Kamu kenapa pulang? Disuruh Bapak? Pulang kok gak ngabarin dulu.” Aku mengomel.
“Gimana mau ngabarin, nomor ponselmu saja aku gak punya.” Hampir saja aku tersedak lu dah sendiri.
“Eh, mau ngapain?” tanyaku bingung saat Akbar duduk di ran jang yang sedang kusinggahi.
“Mau tidur.”
“Loh? Jangan di sini. Tidur di tempat lain saja!” perintahku kes al, masa iya aku harus satu ranj ang dengannya.
“Di mana? Di lantai? Aku capek, perjalanan dari Jakarta sangat jauh. Takut masuk angin kalau tidur di lantai.”
“Ya … di mana, kek. Di kamar Ibu, kek! Di ruang tamu, kek!” balasku lagi grogi. Jelas seperti itu karena selama ini aku belum pernah tidur dengan lelaki mana pun.
“Kamu saja yang di kamar Ibu,” ucapnya sambil berbaring.
“Ih! Pergi-pergi!” Aku mendorongnya, tapi dia tetap membatu. Dan aku terus berusaha mengu sirnya dari sini.
“Ibu Salma yang terhormat, ini kamar saya, dan saya berhak melakukan apapun!” katanya sambil terduduk kembali.
“Ya jangan malam ini juga, lah! Besok saja, gantian. Oke?” Aku bernegosiasi, dia menggeleng, membuatku kembali mendorong tubuhnya.
Brakkkk!
Suara itu tetiba saja mendominasi ruangan, bersamaan dengan jatuhnya kami bersama ran jang reyot ini.
“Astagfirullah! Akbar, Neng Salma! Kalian gak apa-apa?” Ibu tiba-tiba masuk dan mendekati kami dengan tergopoh-gopoh. Diikuti kedua an ak dan menantunya.
“Haduh … roboh lah ran jang peninggalan Bapak. Kalian kalau mau bertempur pelan-pelan dong, ah!” ucap Kang Aris dengan wajah kesal sambil memegangi ran jang yang bentuknya sudah tak karuan ....
Judul : Rahasia Menantu Bungsu
Penulis : Azu Ra
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Rahasia Menantu Bungsu"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker