Bukan Menantu Biasa

Bukan Menantu Biasa


 Bukan Menantu Biasa Part 15


 "Aku ingin jalan-jalan ke kebun teh di ujung Desa sana Mas, boleh?" pintaku kepada lelaki dengan rahang tegas itu.


 "Ayoo!" Lelaki bermata elang itu menjawab singkat.


 Aku tersenyum senang mendengar jawabannya.


"Terima kasih, Mas," ucapku dan hanya di tanggapi dengan senyuman yang membuatku semakin klepek-klepek. 


 Lelaki itu menggenggam tanganku erat. Kami sampai di kebun teh yang sangat luas dan pemandangannya sangat indah.


 Kebun teh ini menjadi perbatasan antara kampung ini dan kampung seberang. Banyak pemetik teh yang juga berasal dari desa seberang.


 Aku menghirup napas dalam-dalam guna mengisi rongga dada dengan udara segar pedesaan.


 Udara yang fresh dan masih belum terkontaminasi debu dan polusi seperti di perkotaan.


 "Seneng bener," ujar lelaki di sampingku.


 "Udaranya seger Mas, bikin rileks, nggak kayak di kota. Sepertinya aku bakalan betah disini," ujarku sambil tersenyum memandang hijaunya daun teh yang menyegarkan mata. 


 Aku menatap bangunan yang hampir selesai di seberang kebun teh. Bangunan dua lantai yang tampak megah untuk ukuran di kampung ini.


 Sudut bibirku tertarik membentuk lengkungan tipis. 


 Di sekitarnya ada pohon cemara yang tumbuh alami. Berjejer seperti barisan pasukan baris berbaris.


 Disitu rencananya akan kubangun villa kecil dengan nuansa alam. 


 Rancangannya sudah ku eksekusi dan tinggal tunggu waktu untuk membangun.


 


 "Kalian ngapain disini?" Kami dikagetkan dengan suara bariton milik pakde Rusdi.


 Lagi menikmati pemandangan malah datang pengacau.


 


 "Healing," jawabku singkat.


 "Jangan disini! Najis! Ini lokasi saya. Kalian pergi dari sini!" Lelaki dengan tampang garang itu mengusir kami.


 Aku tak peduli dengan kata-katanya.


Sepagi ini memang belum ada pekerja yang datang kesini. Jadi suasana disini masih sunyi.


 Lalu lelaki ini ngapain kesini? 


Bukannya kebun ini sudah dijual? 


"Ayo pulang, Dek," ajak Mas Adnan yang tampak geram.


 "Tunggu dulu, Mas. Aku masih ingin disini!" Aku bergeming, tak beranjak dari posisiku.


 "Heh! Anak sial*n! Jangan berkeliaran disini! Atau kalian mau mencuri disini ya?" Lelaki bertampang garang itu tersenyum mengejek.


"Emangnya ini kebun milik pakde?" tanyaku sambil menunjukkan mimik wajah tak percaya.


"Iya, Dek. Ini kebun teh milik pakde," jawab Mas Adnan.


 Lelaki itu membusungkan dada dengan congkaknya.


 "Bukannya kebun teh ini sudah di jual?" Aku menaikkan satu alis dan menunggu reaksi Pakde.


 "Hah?!" Mas Adnan kaget.


 "Kenapa dijual Pakde? Bukankah Mbah sudah berwasiat agar kebun ini jangan sampai dijual? Kami sampai tidak pernah mengganggu hasil kebun ini semata-mata  agar tidak menimbulkan konflik. Kami ikhlas kebun ini dikelola dan hasilnya di makan sendiri! Tapi kami tidak ikhlas kebun ini dijual!" Mas Adnan tampak emosi.


 Jadi ternyata ini kebun warisan? Ya ampuun serakah sekali orang ini.


 "Jangan ngomong sembarangan kamu! Siapa yang menjual kebun ini? Kamu nggak lihat rumah mewah di ujung sana? Itu milik Alisya. Nggak mungkin Alisya bangun rumah disitu kalau kebunnya sudah dijual," tampik Pakde Rusdi. 


 "Yakin itu rumahnya Alisya?"


 


"Kenapa? Kamu iri ya? Katanya orang kaya! Kok nggak bisa bangun rumah? Kayak Aku dong! Baru menikah udah punya rumah!" Entah sejak kapan dia berdiri disitu kami tak menyadari karen asyik beradu argumen.


 "Ngaku kaya elit, bangun rumah sulit. Soal iri paling di depan. Chuaaks," sindirnya sambil tertawa.


 "Wah, selamat ya, bisa bangun rumah, aku salut loh baru nikah langsung bisa bangun rumah! Baru nikah langsung bisa hamil juga, selamat ya, aku iri deh," ucapku dengan nada yang dibuat-buat. Tanganku terulur hendak memberikan selamat. Namun langsung ditampik oleh Alisya.


 "Dihh najiss! Ntar keguguran lagi dan ketularan mandul kayak kamu! Diiihh," ucapnya sambil bergidik.


"Jaga mulut kamu Alisya!" Wajah Mas Adnan tampak memerah menahan emosi.


 Lelaki itu tidak terima istrinya yang unyuk-unyuk ini di hina.


"Diam kamu Adnan! Dasar anak miskin! Sekali melarat ya tetap melarat! Mending pulang sana dan sadarkan istrimu agar tidak banyak berkhayal! Mau kamu berusaha sekuat apapun, kalau dasarnya sudah melarat ya tetap melarat selamanya," bentak pakde Rusdi dengan sindiran pedas.


"Setidaknya kami tidak miskin etika Pakde! Juga tidak serakah terhadap harta orang lain!" Mas Adnan membalas telak.


 Wajah lelaki itu langsung merah padam.


"Kuarng ajar kamu ya!" Lelaki itu mengangkat tangannya. Namun tangannya berhenti di udara. Entah apa yang dipikirkannya.


 "Jangan kira saya akan diam kalau Pakde berani menyentuh keluarga saya! Adnan yang dulu dan sekarang beda Pakde. Dulu selalu pasrah dengan hianaan kalian, sekarang tidak lagi!" ucap Mas Adnan berapi-api.


 "Emang pantas dihina," Sahut Alisya sambil memutar bola matanya.


 "Ayo kita pulang Dek," Mas Adnan langsung menarik tanganku.


 "Sana Husshh… pulang sana. Nanti kalian mupeng lihat rumah mewahku," usir Alisya dengan gaya arrogannya.


 Aku menggenggam erat tangan Mas Adnan sambil mengusap pelan bahunya. Menyalurkan kekuatan terhadapnya. Pasti dia merasa terhina sekali.


 Tenang saja Mas. Kita akan membalas mereka. Kalian mungkin bukan keluarga yang pendendam. Namun tidak denganku! Kalau ada yang berani mengganggu keluargaku! Aku tidak akan tinggal diam.


 Akan kutuntaskan sampe ke akar-akarnya.


 "Maaf ya, Dek. Nggak jadi healing. Pulang jalan-jalan bukannya bikin hati adem, malah makin panas," ujar Mas Adnan yang tampak menyesal.


 "Nggak apa-apa kok, Mas." Jawabku sambil tersenyum agar Mas abian tidak terus merasa bersalah.


 "Maafkan keluarga, Mas, ya. Maaf sudah membawamu kesini hingga kamu dihina. Kamu yang biasanya di sanjung-sanjung dan dihormati. Malah ikut dihina-hina oleh keluargaku. Maaf sudah membawamu ke penderitaan tak berkesudahan ini," ujarnya sambil menunduk.


 "Heeeiii Pak Adnan yang terhormat! Calon pemimpin di Pt Zhafi Sejahtera. Menantu kesayangannya Papah. Saya sangat bahagia disini. Bahkan saya ingin tinggal dan menetap disini. Jangan berkata begitu lagi. Saya malah merasa bersalah menimbulkan konflik-konflik baru dengan keluarga Mas," sanggahku sambil menatap manik legamnya.


  "Bukan kamu yang menimbulkan konflik. Konflik itu memang sudah ada sejak dulu. Tapi kami tidak berani melawan. Kamu yang berani melawan mereka! Aku sampai kagum padamu. Tidak diragukan jiwa pemimpin dalam dirimu," puji Mas Adnan yang membuat wajahku langsung bersemu merah.


"Tapi nyatanya kamu yang ditunjuk Papa menjadi pemimpin kelak untuk menggantikan Papa. Aku hanya menjadi pendampingmu yang akan selalu berada di sisimu." Bibir lelaki itu langsung menyunggingkan senyum.


"Mmm... mas." Aku hendak berucap namun masih ragu dan tidak tau hendak memulai dari mana.


"Iya," jawabnya singkat.


"Sebenarnya kebun teh itu sudah dibeli Papah. Dan akan meminta kita untuk mengelolanya. Rumah megah yang baru dibangun itu sebenarnya rumah Ibu," ucapku ragu.


"Apa?! Kenapa nggak bilang dulu! Kamu sudah menguras tabungan kamu untuk semua ini! Ibu bakalan marah kalau tau ini!" ucap Mas Adnan terkejut.


 "Eitts, tenang aja. Dana yang digunakan untuk membangun rumah itu akan langsung dipotong dari setengah  gaji Mas tiap Bulannya. Gimana?!" 


"Trus nafkah buat kamu?" 


"Kan masih ada setengahnya," jawabku sambil cekikan.


 Wajah lelaki itu langsung tersenyum bahagia.


 Aku tidak sabar untuk segera sampai ke rumah dan memberi tahu kabar bahagia ini pada Ibu.


 Aku juga tidak sabar ingin tau reaksi Pakde Rusdi saat tau Ibu pemilik bangunan mewah yang di akui sebagai rumah Alisya itu.


 Semoga tidak serangan jantung mendadak ya.


Terima kasih sudah mampir🙏


 

Baca selengkapnya DISINI 

Perhatian: Klik iklan 4 sampai 5 kali untuk melewati iklan

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Bukan Menantu Biasa "

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel