Setelah 100 Hari Ibu

Setelah 100 Hari Ibu


 Bapak pergi setelah 100 hari ibu dan menikah lagi. Ia tak kembali dan mengirim nafkah. Setelah aku dewasa Bapak meminta sesuatu tanpa rasa berdosa. Maaf, kamu bukan Bapak kami lagi.

****


"Bang, ini rumah siapa?" tanyaku menatap heran. 


"Ini rumah bos." Bang Diki membuka pintu dengan kunci yang ia simpan di dalam kantung celana. 


"Bang, nanti bosnya pulang bagaimana? Lebih baik izin dulu. Takut Abang dimarahi atau dipecat. Janganlah, Bang. Terlalu besar." 


Bang Diki terdiam sesaat, ia langsung menoleh ke arahku. Aku capek kalau harus merawat rumah ini. Jadi aku putuskan untuk membawa kalian ke sini. Membantu Abang rawat rumah ini. Mau, ya? Nanti digaji sama bos." 


"Gaji?" Mendengar kata gaji aku semakin semangat. Kapan lagi kerja di rumah besar dan tinggal gratis." 


"Mau tidak? Kalau gak mau Abang kunci lagi pintunya." Bang Diki memutar kembali anak kunci yang masih menempel di lubangnya. 


"Mau Bang. Aku mau. Asal aku boleh bawa adik-adikku bekerja?" 


"Tentu boleh. Kamu boleh bawa adikmu tinggal. Gak mungkin kamu tinggal sendirian di dalam rumah ini." Bang Diki terkekeh pelan ia membuka pintu besar itu. 


Kami masuk ke dalam rumah.  Aku tercengang melihat interiornya yang mewah dan elegan.  Ruangannya luas,  dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah,  dan perabotnya terbuat dari kayu jati yang mahal.

 

 Aku tidak pernah membayangkan akan tinggal di rumah yang semewah Bagaimana cara merawatnya, pasti banyak perabot yang mahal. 


"Ayo masuk!" 


Kami mengikuti langkah Bang Diki. Tatapanku menelusuri rumah mewah itu. Ia mengajak kami berkeliling rumah. 

 

"Rumahnya bagus dan besar sekali  Bang, kayak lapangan bola," ujarku membayangkan suatu hari nanti bisa memiliki rumah sebesar ini. 

 

"Iya,  rumah lebar kita bisa main sepuasnya,"  sambung Bagas  terkekeh. 


"Kita lihat kamar kalian. Ada di lantai atas. Itu kamar kalian. Bagas tidur sendiri di sampingnya. Kamar mandi ada di dalam. Kalian istirahat saja dulu apalagi hari sudah malam sekali." 


"Terima kasih,  Bang, kalau gak ada Abang. Kami bisa tidur di kolong jembatan," ujarku menatap pedih. 

 

"Semoga betah. Abang tidur di sana. Kalau ada apa-apa. Ketuk saja. Jangan sungkan." 


Ternyata penilaian seseorang tak dilihat dari penampilan justru terlihat dari perbuatan dan perkataan. 


Aku segera mengajak adik-adikku ke kamar mandi.  Aku tidak percaya bahwa kami bisa mandi di kamar mandi yang semewah ini.

 

"Kak,  rumahnya gede,"  kata Talita berjalan melihat dan naik ke atas ranjang.  

 

"Iya,  Dek.  Rumahnya bagus banget. Ayo kita ke kamar mandi dulu setelah itu lanjut tidur." 

 

Setelah selesai membersihkan tubuh, aku dan adikku langsung tidur di kasur yang sangat empuk dan lebar. Bang Diki kembali ke kamarku, ia menyerahkan botol air mineral dan cemilan  untuk simpanan di kamar. Katanya takut Talita dan Tabita lapar. 

 

**

 

"Kalian mau makan apa?"  tanya Bang Diki ketika aku dan dan adik-adikku sudah keluar kamar. Aku sengaja menunggu matahari terbit. Walau sebenarnya sudah bangun sejak subuh dan mengerjakan salat lima waktu begitu juga adikku. Untung ada minum dan sedikit cemilan di dalam kamar. 

 

"Apa saja,  Bang,"  jawabku tersenyum tipis. Bang Diki hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Ia terlihat sangat bersih tak seperti biasanya. Wajahnya sangat tampan, seandainya aku seumuran Bang Diki pasti akan terpesona dan jatuh cinta. Sayang sekali umurnya masih ABG tak pantas mendampinginya, eh. Kenapa pikiran aku jadi begini. Mana mau Bang Diki sama aku, gad jelek dan miskin. 

 

"Oke,  tunggu sebentar,"  kata Bang Diki,  kemudian beranjak pergi ke dapur membuka lemari pendingin sangat besar. Ia yang mengetuk pintu lalu, lemari pendingin terbuka. Lucu sekali kulkas zaman sekarang. 


"Hanya ada telur. Abang belum belanja." Bang Diki mengaruk kepalanya. Kulkas sebesar itu hanya ada telur saja. 


"Dimaklumi Bang. Namanya juga rumah kosong. Biar aku yang masak. Abang duduk aja. Telur juga enak. 


"Pasti Abang ketagihan apalagi kalau  Shanum yang masak. Sedap banget," puji Bang Diki. Ia saja belum pernah makan masakanku sudah bilang sedap. 


Bang Diki menunjukkan tempat penyimpanan peralatan masak. Aku sangat takjub dengan perabotan di dalam rumah ini. 


Kubuka lemari pendingin  dan melihat apa saja yang ada di dalamnya. Terlihat timun di dalam sana. Bisa ditumis dan membuat  telur dadar. 


Talita dan Tabita menonton televisi ditemani teh hangat dan susu untuk mereka. Sedangkan Bagas masih di dalam kamar. Ia tidur kembali setelah subuh. 


"Ayo sarapan. Sudah matang semua!" panggilku. Tak lupa Bagas kupanggil juga. Ia juga pasti lapar. 


Kami pun makan dengan lahap.  Setelah makan,  Bang Diki mengajak kami duduk di ruang tamu sambil ngemil. Kenapa jadi banyak makanan di meja. Padahal semalam tak ada makanan sama sekali. 

 

"Abang gak bisa menemani kalian lama-lama di sini. Ini kunci rumah dan uang untuk pegangan kalian. Nanti akan datang paket sayuran dan kebutuhan lain. Kalau ada apa-apa telepon Abang saja." Bang Diki meletakkan semua benda yang ia berikan di  meja. 

 

"Telepon? Aku gak punya hape, Bagaimana bisa menghubungi Abang?" ucapku pelan. Aku mengerti Bang Diki harus bekerja. Aku juga tak tahu apakah ia sudah menikah atau belum. 


"Oh, iya tunggu sebentar." Bang Diki masuk ke kamarnya dan keluar membawa sebuah  kotak  hitam lumayan besar. 


"Ini buat kamu." Ia menyodorkan kotak bergambar ponsel. 


"Ah, hape? Tapi Bang. Ini ...." Aku menggeleng lemah, tak sanggup menerimanya pasti harganya mahal apalagi kasingnya saja masih mengkilap dan mulus. 


"Aku gak bisa terima ini, Bang. Maafkan Shanum. Gak bisa." 

 

"Kamu butuh ponsel  untuk komunikasi kita. Bagaimana Abang bisa tahu keadaan kalian. Ponsel itu perlu dan sangat penting." 


"Tapi Bang. Aku gak layak punya ponsel seperti ini. Terlalu bagus untukku." 


Bang Diki tertawa,"Ini ponsel bekas. Apanya yang mahal. Sini, Abang ajarin cara mengunakannya. Kamu harus bisa mengunakan." 


Ponsel pertama yang aku miliki, Bagas juga terlihat antusias belajar mengunakan ponsel yang selama ini tak terpikirkan oleh kami. Bagiku perut lebih penting. 


Bang Diki pergi setelah mengajari cara mengunakan ponsel. Tak berapa lama kemudian tukang paket datang mengantar keperluan kami dengan lengkap. 


Aku merasa sangat bersyukur.  Bang Diki adalah orang yang baik hati.  Ia telah menolong kami di saat kami membutuhkannya.


Tiga hari telah berlalu, Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi.  Kami tinggal di rumah mewah,  menikmati fasilitas yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya.  Kamar mandi dengan bathtub,  dapur yang lengkap dengan peralatan modern,  dan taman yang luas. 

 

Talita dan Tabita senang sekali bermain di taman,  berlarian dan berteriak riang.  Bagas pun tak kalah gembira,  ia asyik menonton televisi di ruang keluarga yang dilengkapi dengan TV layar besar.

 

Aku,  yang biasanya sibuk mengurus rumah dan adik-adik,  kini merasa sedikit lega.  Bang Diki telah menyediakan semua kebutuhan kami,  dari makanan,  pakaian,  hingga biaya sekolah Bagas. Ia juga memintaku untuk melanjutkan sekolah lagi. 


Selama di rumah ini kami selalu sibuk membersihkan barang-barang. Bang Diki berpesan agar tak masuk ke dalam kamarnya. 


Bagas sedang libur sekolah karena sudah penerimaan rapor. Seperti biasa ia selalu menempati peringkat pertama. 


"Kak, kenapa Bang Diki belum datang-datang?" tanya Bagas ketika kami sedang duduk di teras belakang sambil melihat Tabita dan Talita bermain. 


"Kemarin kamu chat sama Bang Diki?"


"Iya, katanya sibuk." 


"Sabar aja. Nanti juga datang. Lagian ia tak mungkin meninggalkan kita di rumah bosnya. Bisa dipecat nanti." 


Suara mobil terdengar masuk ke dalam rumah. Bagas mmolej ke arahku. 


"Itu pasti Bang Diki!" teriak Bagas segera bangkit dari duduknya. Begitu juga aku mengendong si kembar untuk menyambut kedatangan Bang Diki. 


"Hei, siapa kalian. Kenapa ada di rumah ini?" bentak wanita tua dengan rambut dicepol rapi. Apakah dia bosnya Bang Diki? Gawat. 


***


Baca selengkapnya di KBM aplikasi 

Judul ; Setelah 100 Hari Ibu 

Penulis : Bellez LTF 


.

Baca juga cerita yang lain sudah tamat 

 1.  21 Hari Menghilangnya Suami 

 2. Jerit Tangis Maduku 

 3. Kuhancurkan Pernikahan Suamiku Dengan Elegan 

 4. Setahun Tak Tersentuh 

 5. Jasad Adikku Tergeletak di Depan Rumah

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Setelah 100 Hari Ibu "

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel