Misteri Kepergian Suamiku Saat Malam Jum'at

Misteri Kepergian Suamiku Saat Malam Jum'at


 MERTUA LANGSUNG TANTRUM SAAT TAHU AKU MENGUSIR ANAKNYA DARI RUMAH. LHO, SELAMA INI DIPIKIR ITU RUMAH SIAPA? SALAH SENDIRI SEL1NGKUH!!! 


"Ambil air comberan, Mbok! Siramkan ke wanita ini kalau dia nggak mau pergi!"


"Apa?" Bu Astuti begitu marah. 


Akan tetapi, karena aku lebih marah darinya, aku berhasil mendorong ia sampai ke ruang tamu. Aku menyambar sapu lalu mengangkat gagangnya tinggi-tinggi. Mbok Umi tak terlihat, kuharap ia benar-benar mengambil air comberan.


"Dela! Keterlaluan kamu sama orang tua!" teriak Bu Astuti ketakutan.


"Ibu yang nggak punya hati. Sesama wanita, Ibu tega mengatakan itu sama aku!" gertakku sembari melangkah maju.


Bu Astuti mundur, gemetar dengan mata menatap antara sapu di tanganku dan wajahku.


"Aku sama sekali nggak m an dul. Aku ha mil dua kali dengan anak Ibu! Anak-anak kami ... dikuburkan baik-baik di depan rumah ini, kenapa semua orang bilang ... aku ma n dul? Kenapa?"


"Karena kamu nggak pernah melahirkan anak-anak itu. Kamu gagal jadi ibu, Del!" Punggung Bu Astuti menumbuk pintu depan.


Aku menggeleng. Ucapannya sungguh ka sa r. Hanya karena aku belum mela h irkan, bukan berarti aku gagal jadi seorang ibu.


"Pergi dari sini, cepat!" teriakku sambil memukulkan gagang sapu itu ke lantai.


Bu Astuti menggeram. Ia men gu mpat keras sambil berlari keluar dari rumah. Aku masih mendengar hinaannya tentangku. Namun, aku tak peduli.


"Ibu baik-baik aja?" tanya Mbok Umi. Ia benar-benar datang dengan satu ember kecil berisi air bersih. Tak ada comberan di sini sesungguhnya.


Aku mengangguk. "Iya, Mbok." Dengan lunglai aku berjalan ke halaman. Aku mendekati makam kecil di sana dan langsung terduduk di rerumputan.


Aku mem be lai tanah di depanku dengan air mata berderai. "Maafin Mama, ya. Mama nggak mampu jaga kalian. Mama nggak mampu mela h irkan kalian."


Air mataku semakin deras. Hatiku seperti dicabik berulang-ulang akibat ucapan Mas Roni dan ibunya. Akan tetapi, aku tak akan lemah.


Aku mungkin menangis hari ini, tetapi akan kubuktikan pada mereka semua bahwa ucapan mereka sama sekali tidak benar.


Dan mereka yang akan menyesal sendiri nantinya.


***


"Undangan, Del. Buat kamu sama Roni," kata Lala.


Aku menerima dua lembar amplop itu. Undangan rapat reuni. Aku dan Mas Roni memang satu angkatan di SMA, tetapi kami baru mulai pacaran ketika kuliah. Kami beda kelas dulu.


"Ehm, punya Mas Roni, kamu anterin ke rumah ibunya aja. Dia mungkin di sana," kataku.


"Hah?" Lala mengerutkan keningnya. Bingung, tetapi ia tetap menerima undangan yang aku kembalikan padanya. "Kamu sama Roni ... eh, jangan bilang kalau kalian ...."


Lala mengedarkan matanya ke barang-barang yang aku masukkan ke mobil. Ia lantas membuang napas panjang. Tanpa aku jelaskan pun, aku rasa ia mengerti. Hampir semua teman SMAku telah berumah tangga.


"Serius, Del? Cuma berantem, kan?" Ia menebak.


"Nggak. Kami mau pisah," jawabku.


Lala merengut. "Ya ampun, padahal kalian serasi, lho."


Aku tersenyum getir. "Ini kapan, sih, acaranya?"


"Reuninya belum tahu kapan, makanya aku ngundang siapa-siapa yang deket buat jadi panitia," kata Lala. "Kamu bisa datang, nggak?"


Aku membuang napas panjang. "Nggak tahu, deh. Aku ngikut aja kalau bisa aku pasti datang reuninya. Kalau jadi panitia, mungkin nggak dulu."


"Yah, nggak seru nggak ada kamu. Udah mau sepuluh tahun kita lulus SMA, Del. Pengen bisa ngumpul bareng sama kamu dan yang lain," kata Lala dengan tatapan prihatin ke arahku.


"Aku juga kangen sama temen-temen, tapi ... sekarang aku baru gini."


"Iya, sorry, Del. Aku maklum."


Aku tersenyum tipis. "Eh, ayo masuk dulu, La." 


Lala menggeleng. "Nggak, Del. Ini masih ada beberapa undangan yang harus aku anterin."


Aku mengangguk padanya. Aku mengantar Lala hingga ke depan pintu gerbang. Ketika ia pergi, aku mere m as undangan itu. Aku tak akan datang ke sana. Aku akan jadi janda, dan aku tak siap jika aku harus bertemu dengan Mas Roni lagi nanti.


***


Enam bulan kemudian....


Sidang perceraian kami berakhir sebulan yang lalu. Aku terus hadir di semua sesi sedangkan Mas Roni, tidak hadir sekali. Ia masih sering mengajakku bicara, membujukku untuk rujuk dan menerima Ais sebagai istri kedua. 


Akan tetapi, keputusanku tetap bulat. Aku lega ketika hakim menetapkan kami telah resmi bercerai secara hukum. Sedangkan secara agama, aku sudah enam bulan pisah dengannya.


Setelah bercerai, aku menyibukkan diri dengan pekerjaan.


"Cilok kayaknya enak," kataku saat aku hendak keluar makan siang. Aku melewati sebuah SD dan di sana ada banyak penjual makanan keliling.


Aku memarkirkan mobilku agak jauh dari sekolah karena banyak antrian mobil penjemput, lalu aku berjalan ke salah satu gerobak penjual cilok.


"Mama! Mamaaa!" 


Aku menoleh ketika mendengar suara anak kecil memanggil. Itu hanya spontan, karena aku tahu bukan aku yang dipanggil. Di sini banyak anak SD yang baru keluar dari gerbang sekolah.


Akan tetapi, anehnya seorang anak kecil langsung menggandeng tanganku erat.


"Aku punya mama, kok. Ini mama aku!"


Aku terkesiap. Wajahku pasti tak bisa membohongi siapa pun bahwa aku sedang kaget maksimal.


Baca di KBM


Judul: Misteri Kepergian Suamiku Saat Malam Jum'at

Penulis: Dyanitta

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Misteri Kepergian Suamiku Saat Malam Jum'at"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel