Part 3
"Sayang, dengarkan aku dulu!"
Aku masih bisa melihat Mas Reza menarik tangan Rara dari pintu jendela yang terbuka, dan masih bisa mendengar suara mereka.
"Dengarkan apa lagi?" Rara menatap ke arah Mas Reza tajam. "Kamu lihat sendiri, perlakuan Mama kamu sama aku!"
"Mama cuma tersulut emosi sesaat, karena kita bicara terlalu tiba-tiba."
"Lalu bagaimana kalau Mama kamu benar-benar akan memberikan seluruh hartanya pada istrimu?"
"Itu gak mungkin lah, Sayang. Mama pasti cuma menakut-nakuti kita. Tolong bersabarlah sedikit. Aku janji akan mengurus semuanya." Tatapan Mas Reza terlihat memelas pada wanita pujaannya itu.
Rara akhirnya terlihat luluh. Dia membuang napas kesal, lalu menatap Mas Reza lagi.
"Dengar, Mas! Kalau bukan karena aku mencintaimu, aku sudah mundur detik ini juga!" ucapnya.
"Aku tahu, Sayang." Mas Reza meraih tangan Rara. "Kita sudah berjuang sampai di sini. Hanya tinggal selangkah lagi saja kita bisa bersama."
Astaga, entah kenapa melihat mereka berdua rasanya mau muntah saja. Rara akhirnya tersenyum. Dia kemudian memeluk Mas Reza erat. Dan dalam pelukannya itu, dia menatap ke arahku. Dia tersenyum meremehkan, seperti secara tak langsung meledekku dengan memamerkan kemenangan.
Aku menahan napas. Mungkin memang dia sengaja ingin membuatku cemburu, meskipun tak bisa aku pungkiri jika itu sedikit berhasil.
"Apa lagi yang kamu lihat, Anis?" Bu Hasna tiba-tiba berdiri di sampingku, lalu melihat apa yang kulihat.
Dengan kesal dia seketika menutup jendela, dan menarik tirainya. Wanita yang masih terlihat begitu cantik dan modis meskipun sudah berumur hampir setengah abad itu menatapku.
"Tolong maafkan Mama, Anis. Mama sudah gagal mendidik Reza," ucapnya kemudian.
Aku membuang napas, lalu tersenyum sembari membalas tatapan Mama mertuaku. Kuraih tangannya, kugenggam erat. Aku kemudian tersenyum.
"Sudah cukup Mama minta maaf padaku. Mama tidak melakukan kesalahan apapun," jawabku. "Mas Reza sejak awal memang tidak mencintaiku, Ma. Jadi biarkan saja Mas Reza memilih kebahagiaannya."
"Maksudmu, kamu mau melepaskan Reza begitu saja?"
"Aku juga tidak bisa bertahan seperti ini terus, Ma. Aku juga akan sangat merasa bersalah jika sampai Mas Reza nekad dan terus-menerus berbuat zina."
Bu Hasna mengurut keningnya dengan mata terpejam. Terlihat sekali betapa beratnya dia memikirkan keputusan.
"Mama tenang saja." Aku lagi-lagi menggenggam tangan Bu Hasna. "Aku janji akan tetap berada di sisi Mama, apapun yang terjadi."
Bu Hasna menatapku dengan pandangan berkaca-kaca. Dielusnya lembut kepalaku yang tertutup jilbab.
"Mama juga tidak akan membiarkan kamu menjauh dari sisi Mama. Mama janji!" ucapnya.
Aku mengangguk, lagi-lagi hatiku penuh dengan rasa haru. Selama tiga tahun aku mengabdikan hidupku di rumah ini, aku memang tidak pernah merasakan kekurangan apapun. Mas Reza pun begitu baik padaku, jadi aku tidak akan tega untuk merusak kebahagiaannya dengan wanita impiannya. Setelah ini, jadi pelayan pun mungkin aku rela asal bisa tetap dekat dengan Bu Hasna.
"Mama puas kan, sekarang?"
Aku dan Bu Hasna menoleh, dan terlihat Mas Reza berdiri dengan wajah kesal.
"Rara pulang gara-gara kalian," ucapnya lagi.
"Loh, kok kamu jadi menyalahkan Mama?" Bu Hasna melotot ke arah putranya. "Dia yang mau pergi sendiri. Mama gak mengusirnya."
"Iya, tapi ucapan Mama membuat dia pergi."
Aku menatap ke arah Mas Reza. Cinta membuatnya seperti anak-anak yang merengek minta mainan. Wibawa yang selama ini kulihat darinya seketika hilang. Sekarang jadi seperti ABG yang baru merasakan cinta monyet.
"Kamu benar-benar serius ingin menikahi wanita itu, Reza?" Mama akhirnya bicara dengan lantang dan serius.
"Aku sudah bilang, Ma. Aku tidak akan menarik keputusanku!" jawab Mas Reza.
"Kamu sudah siap kehilangan Anis?"
Mas Reza diam sesaat, lalu menatapku sebentar. Kami berdua saling bertatapan. Sesaat kemudian, dia memalingkan muka dariku.
"Anis wanita yang baik, Ma. Dia pasti akan menemukan kebahagiaannya juga," jawabnya kemudian tanpa menatapku.
"Baiklah! Tunggu di sini!" sahut Bu Hasna, lalu dengan langkah kesal pergi meninggalkan kami berdua. Terdengar jelas suara langkah Mama menaiki tangga, mungkin menuju kamarnya yang memang berada di ruang lantai atas.
Mas Reza berjalan menuju sofa, lalu membanting badannya di sana. Dia seketika mengurut kening, terlihat pening dengan apa yang terjadi.
"Tolong buatkan kopi."
Aku tersentak sesaat, tak menyangka dia masih meminta bantuanku seperti biasanya setiap dia pulang kerja. Dengan apa yang sudah terjadi, sebenarnya aku bisa saja menolaknya. Tapi karena dia masih menggunakan kata tolong seperti biasa, akhirnya kuputuskan untuk memenuhi permintaan. Mungkin kali ini yang terakhir.
Aku berjalan menuju dapur, lalu merebus air. Kebetulan dua orang asisten rumah tangga kami masih belum kembali dari kampung, sedang mudik lebaran. Meskipun kami punya asisten rumah tangga, untuk kebutuhan makan Bu Hasna dan Mas Reza, aku sendiri yang menyiapkan. Setidaknya aku tahu diri karena bukan siapa-siapa.
Setelah secangkir kopi siap, aku membawanya ke hadapan Mas Reza. Tanpa menunggu apapun lagi, dia cepat menyeruput kopinya, lalu meletakkan sisanya ke atas meja.
"Maafkan aku, Anis," ucapnya setelah diam beberapa saat, membuatku kaget.
"Aku tahu ini menyakitkan bagimu, tapi kamu tahu sendiri aku tidak pernah bisa melupakan Rara." Kali ini dia menatapku, seperti memohon pengertianku.
Aku terdiam sesaat, mencoba menata hati sekali lagi. Kemudian aku mencoba untuk tersenyum.
"Aku mengerti kok, Mas," jawabku kemudian. "Aku juga sudah meyakinkan Mama, jadi Mas Reza tenang saja."
"Benarkah, Anis?" Mas Reza menatapku penuh antusias.
Aku tersenyum sekali lagi. "Iya, Mas."
"Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih." Wajah Mas Reza yang tadinya muram kini seperti penuh dengan harapan.
Belum sempat aku menjawab lagi, tiba-tiba Bu Hasna datang dan meletakkan sebuah map di depan Mas Reza, lalu duduk di sofa dengan santainya. Aku dan Mas Reza menatap ke arahnya dengan heran.
"Apa ini, Ma?" Tanya Mas Reza dengan kening berkerut, seraya meraih map yang ada di depannya.
"Perjanjian," jawab Mama.
"Perjanjian?" Mas Reza membuka map itu dengan wajah gusar.
"Mama mengijinkanmu bercerai dengan Anis dan menikahi perempuan itu dengan syarat Anis harus jadi putri angkat Mama! Jadi jika setelah ini Mama ingin menjodohkan Anis dengan siapapun, itu hak Mama!" ucap Bu Hasna lagi, membuat Mas Reza lagi-lagi melongo.
"Dan satu lagi," lanjutnya. "Kalau Mama mau memberikan sebagian atau semua harta Mama padanya juga, kamu tidak boleh menuntut apapun!"
Kali ini aku dan Mas Reza sama-sama kaget. Kami tak menyangka, Bu Hasna ternyata tidak bercanda dengan ucapannya.
.
.
Update lebih cepat di KBM App.
Li--nk ada di pro--fil Author
Judul : DICAMPAKKAN SUAMI DIRATUKAN IBU MERTUA
Author : Ariesa Yudistira
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "DICAMPAKKAN SUAMI DIRATUKAN IBU MERTUA"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker