MENANTU TAK DIANGGAP

MENANTU TAK DIANGGAP


 "Tidak bisa, Bu, aku tetap tidak akan membawa Minar tinggal di rumah Ibu lagi, karena Ibu hanya akan menganggap dia sebagai pembant*."


Mas Ulik segera memutuskan panggilan tersebut.


Ada rasa khawatir yang sangat besar di hati ini, bagaimana nanti jika kami justru tidak akan mendapat keberkahan dari Allah karena tega membiarkan Ibu Mertua seorang diri.


"Kamu mau ikut ke rumah Ibu, Dek?"


Aku menatap Mas Ulik sebentar lalu mengangguk.


"Kenapa sih, Dek? Mandangnya seperti itu, mau peluk?"


"Lah kok jadi peluk yah? Nggak."


"Udah ngaku aja, atau kita tunda aja ke rumah Ibu, Mas pengen ke kamar deh."


"Mas, malu ih, hayuukk ke rumah Ibu."


Mas Ulik tertawa, lalu menyambar kunci motor yang tergantung di dinding.


"Awas saja kamu mandang seperti itu lagi, nanti nggak ada ampun loh."


Aku mencubit pinggang Mas Ulik.


"Mas, nanti Ibu pakai apa kalau kita ambil barang-barang di rumah?"


"Paling nanti dia minta sama Abang-abangku."


"Kalau mereka nggak mau beli gimana, Mas?"


"Ya, kita lihat nanti, kita harus membuat Ibu berubah, Dek. Kalau kita terus patuh dan nurut sama dia, nanti Ibu tidak akan pernah sadar."


"Iya, Mas. Aku ngikut saja."


Ibu Mertua begitu jelas memilih kasih, aku tidak mencela caranya, tapi aku juga tidak ingin memakai cara ini untuk anak-anakku kelak, karena walau terlihat anak kita tertawa menerima keadaan, pasti akan ada luka di hatinya yang tidak bisa kita lihat.


Kami sampai di rumah, bersamaan dengan mobil Bang Lukman yang baru saja datang.


"Ulik, akhirnya kamu pulang. Ibu tidak ada yang merawat."


Dari dalam mobil Ibu berusaha untuk turun, sedangkan Mbak Widya seakan tidak peduli.


Mas Ulik tak mengacuhkan ucapan Bang Lukman dan memilih masuk ke dalam rumah.


"Lik ... Lik, maafkan ibu, Lik. Ibu takut mereka akan membawa ibu ke rumah saudara ibu, maafkan ibu, Lik."


Ibu berusaha mengejar Mas Ulik dengan jalannya yang sangat tertatih.


Aku ingin membantu Ibu, tapi ingatanku kembali pada perkataan Mas Ulik.


"Minar, maafkan ibu, Nak. Maafkan ibu, tolong bujuk Ulik, Nak."


Aku hanya melihat Ibu sejenak.


Mas Ulik seakan tidak peduli pada apa yang dikatakan oleh Ibu.


"Lik, anakku, maafkan Ibu, Nak."


Aku segera mendekati Mas Ulik.


"Mas, sebentar saja, kita di sini dulu, yah," pintaku memegang tangan Mas Ulik.


Mas Ulik menghela napas pelan, lalu mengucapkan istighfar beberapa kali dan mengusap wajahnya.


"Baik, Dek. Kita akan kembali ke kontrakan nanti malam," ucap Mas Ulik pelan.


Aku tersenyum dan segera membereskan beberapa piring di meja makan dan di ruang tamu serta kamar.


"Akhirnya, kita bisa tenang sekarang, dia sudah kembali mengurus rumah, ackting Ibu bagus juga," Samar-samar aku mendengar orang yang sedang berbicara.


Sepertinya kali ini memang aku harus bersikap tegas seperti Mas Ulik juga.


Sengaja aku membiarkan keran air terbuka, agar mereka berpikir kalau aku masih mencuci piring.


Mengendap aku mendekati jendela kamar asal suara.


"Ibu bisa tenang lagi." Tadi ketika meminta maaf suara Ibu terdengar sangat pelan dan bahkan seperti orang yang sedang sakit sungguhan, sedang sekarang suaranya sangat baik.


"Bu, jangan membuat Ulik marah lagi, nanti Ibu akan susah sendiri, untung sekarang kita bisa tenang karena menantu pembant* sudah pulang."


Aku mengangguk dan memahami apa yang harus aku lakukan.


Aku akan membuat mereka berubah tapi dengan cara yang bagus dan membuat Mas Ulik makin sayang denganku.


Aku kembali ke tempat cuci piring.


Brugh!

Prang!


"Dek, kamu kenapa?" Mas Ulik segera menggendongku.


Semua keluar kamar dan melihatku.


"Bu, aku tidak bisa mencuci piring, punggungku sakit karena jatuh, nanti Mbak Widya saja yang cuci piring yah, Mbak Dinda, maaf tadi aku tidak sengaja menumpahkan opor ayam di pakaian Mbak yang itu, juga Mbak Prasti, kali ini Mbak harus membereskan kamar Mbak dan ruang tamu, soalnya saat aku mengangkat piring dari kamar Mbak dan dari ruang tamu tadi aku pun tidak sengaja menumpahkan beberapa kuah makanan. Aku mau pulang dulu, mau istirahat," pungkasku dengan wajah menahan sakit.


Mereka semua menatapku tidak percaya.


Mas Ulik kembali menggendongku ke depan rumah, namun sebelum benar-benar menghilang di balik pintu, aku sempat tersenyum dan menjulurkan lidah kepada mereka semua.


Sepertinya mereka akan dendam padaku karena ulah yang sengaja aku buat hari ini, lagian ... aku tidak terjatuh, ini hanya trik. Tak lupa, aku mengedipkan mata ke arah Ibu Mertua tadi, karena rice cooker kini kubawa bersama Mas Ulik, untuk televisi, sudah dibawa lebih dulu oleh anak tetangga di kontrakanku yang kubayar 50.000.


Hari ini, aku mulai untuk melawan kalian.


-----------


"Lik, istrimu ....


*******


Hoooooooolllllllaaaa Maaaaaaaakkk 

Judul: MENANTU TAK DIANGGAP 

Sudah tamat di kbm app

Akun Chie_Amoy08. BAB 4

Limk di kolom komentar yah

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "MENANTU TAK DIANGGAP"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel