"Lik, istrimu mana? Aku ada perlu."
Aku yang sedang memasak pun segera melepas sapatula untuk sebentar.
"Mbak, tau adab masuk rumah orang? Atau Mbak lupa bagaimana cara mengucapkan salam? Biar aku ajarkan, Mbak. Bilangnya gini, assalamualaikum. Gitu aja, susah?" Kudengar Mas Ulik bersuara.
Aku tertawa mendengarnya sambil berjalan mendekati mereka.
"Nggak usah menasehatiku, panggil saja istrimu kemari? Hanya ngontrak tapi sombongnya minta ampun!"
"Walaupun kontrak, aku membayar kontrakan bukan memakai uang Mbak, kan? Jadi kalau mau masuk ke kontrakan ini harus mengucapkan salam, Mbak."
"Kalau aku nggak mau, gimana?"
"Mohon maaf, aku mengusir Mbak dengan paksa!"
Mas Ulik sedikit mendorong badan Mbak Dinda.
"Apa yang kamu lakukan, Ulik?"
Aku yang sudah berada di belakang Mas Ulik langsung melihat ke sumber suara.
Rupanya sudah ada Ibu Mertua dan yang lainnya datang menyusul.
"Kamu ini benar-benar sudah terpengaruh buruk oleh istrimu ini!"
"Loh kok bawa-bawa aku sih Maszee?"
Mas Ulik langsung menoleh kepadaku. Tatapannya penuh tanda tanya, baru kali ini aku seperti ini di hadapannya, karena memang aku orang yang tidak terlalu suka banyak bicara.
"Kalau bukan kamu, lalu karena siapa? Ulik kan hidup denganmu."
"Baru sehari, Bang. Selama ini kan kita tetap hidup dengan Ibu."
"Kamu mau menyalahkanku?" Ibu Mertua bersuara.
"Loh, Ibu merasa?"
"Huuuu ... sampai hati kamu Minar, apa salahku?" Ibu Mertua menangis.
Mas Ulik melihatku lagi.
"Sudah, sebenarnya tujuan kalian kemari untuk apa?" Mas Ulik mundur dua langkah dan langsung menggenggam jemariku.
"Aku mau minta tanggung jawab kepada istrimu, karena dia menumpahkan opor di bajuku ini, nodanya nggak bisa hilang seratus persen!" Mbak Dinda memperlihatkan gamisnya.
Aku maju dan melihatnya.
"Iya! Kamu harus bertanggung jawab, Minar! Kamu sudah membuat baju Dinda jadi seperti ini!" Ibu Mertua ikut bersuara.
"Loh, kan aku tumpahkan di depan, kenapa nodanya di belakang? Udah gitu nodanya kok merah? Kan opor warnanya bukan merah."
"Halah, yang jelas noda ini nggak ada kemarin!"
"Ya sudah, harganya berapa?" tanyaku.
"Lima ratus ribu! Bisa nggak? Punya uang, nggak?"
"Sudah tentu kamu pasti nggak punya uang, kan?"
Aku yang baru saja berbalik ingin mengambil uang pun kembali melihat ke arah Mereka.
"Kalau aku nggak bisa bayar, bagaimana?"
"Kamu harus kembali ke rumah Ibu! Liburan kami masih ada tujuh hari lagi, dan kamu harus melayani kami semua!" jawsb Mbak Widya.
"Oh jadi ini tujuannya? Hahaha ... Mbak, caranya kampungan banget loh."
"Apa sih kamu?" Mbak Prasti pun akhirnya bersuara.
"Kalian tunggu di sini dulu, yah, aku mau mengambil bajuku dan Mas Ulik dulu."
Mereka semua tersenyum mengejek.
"Kamu masak apa itu? Bawa sekalian!" tanya Ibu Mertua saat aku belum sepenuhnya menghilang di balik pintu.
"Kenapa Bu, lapar? Aku masak ayam sambel kecap, tapi belum matang, mau makan ayam mentah? Menantu kaya kesayangan Ibu ini belum memasak yah? Atau mereka menunggu Ibu yang akan memasukkan mereka? Waahh hebat yah."
"Aku hanya bertanya, bukan meminta, sudah sana, ambil pakianmu!"
Aku mengangkat kedua bahu menanggapinya lalu kembali berjalan masuk.
Mengambil sesuatu di lemari dan kembali berjalan ke depan.
"Mana pakaianmu?"
"Nggak ada, nih uangnya, lima ratus ribu, kan?"
Aku menyerahkan uang lima ratus ribu tersebut.
Mereka semua menganga.
"Uang dari mana kamu, Minar?" Ibu Mertua bersuara.
"Uang dari suamikulah, Bu, dari mana lagi?"
"Kan benar, dia mengambil uang Ulik, sengaja menyimpan semua uang Ulik!" Ibu Mertua berteriak.
"Aku kan istrinya, nah sudah kubayar, kan? Berarti bajunya menjadi milikku!" Aku mengambil gambar dari tangan Mbak Dinda.
"Ambil saja! Kamu memang layak memakai barang bekas dariku! Cih."
"Bukan untukku, tapi untuk Ibu. Nih, Bu. Aku belikan untuk Ibu, harganya lima ratus ribu, Bu. Lebih mahal dari baju yang Ibu pakai ini."
Wajah Ibu Mertua memerah.
"Kamu mau menghinaku?"
"Ibu merasa terhina? Kenapa baru sekarang, Bu? Baju yang Ibu pakai ini kan baju bekas Mbak Dinda kan? Yang Ibu banggakan di depan para tetangga dan keluarga? Harganya hanya dua ratus ribu, kan, Bu? Sedangkan baju yang aku belikan ini lima ratus ribu, Bu. Lebih mahal. Tidak perlu Ibu banggakan, cukup Ibu merasa diri saja, kalau selama ini merekalah yang menghina Ibu, bukan aku!"
Brugh!
"Mbak Dinda, ada yang nyari ....
********
Hoooooooolllllllaaaa Maaaaaaaakkk
Judul: MENANTU TAK DIANGGAP
Klik DISINI Untuk baca cerita full-nya
Perhatian: Klik Tombol DISINI sebanyak 4 atau 5 kali untuk melewati iklan!!
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "MENANTU TAK DIANGGAP"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker