“Sayang, gimana kalau rumahmu itu dijual aja. Terus uangnya kita gunakan untuk renovasi rumah ini,”
Saat sedang menikmati makan siangnya, Rida tiba-tiba saja dikejutkan oleh perkataan sang suami, Mahendra.
Mahendra berkata santai, seolah yang dibicarakan bukanlah hal besar.
Rida nyaris tersedak karena kaget. Suapan terakhir bahkan belum sempat ia kunyah dengan benar. Dengan sigap, Mahendra menyodorkan segelas air putih ke arahnya.
Setelah meneguk habis air itu, Rida memandang suaminya dengan tatapan tak percaya. “Apa, Mas?” tanyanya dengan suara setengah tercekat. “Kau mau jual rumahku?”
Rumah yang dimaksud Mahendra adalah rumah peninggalan orang tua Rida. Ayahnya sudah lama meninggal ketika Rida masih duduk di bangku sekolah dasar, dan ibunya baru saja berpulang dua bulan yang lalu. Sebagai anak tunggal, rumah tersebut secara otomatis menjadi milik Rida. Namun karena Mahendra tidak mau tinggal di sana dengan alasan terlalu jauh dari tempat kerja dan tak ingin berjauhan dari sang ibu, Rida pun memilih untuk menyewakan rumah itu.
Rumah yang mereka tempati sekarang berada tepat di samping rumah ibu Mahendra. Di lingkungan kecil itu, kedua saudara Mahendra juga tinggal bersama keluarga mereka masing-masing. Semuanya sudah menikah dan punya kehidupan sendiri-sendiri.
“Iya, kamu mau kan jual rumah itu?” ulang Mahendra. Tatapannya terlihat serius, alis tebalnya sedikit berkerut menunggu jawaban.
Wanita berbulu mata lentik itu menggigit bibir bawah, bingung hendak memberi jawaban seperti apa.
“Memangnya kamu nggak mau punya rumah yang lebih bagus dari ini?” lanjut Mahendra, kini dengan nada yang mulai meninggi. Suaranya menyiratkan nada heran sekaligus desakan.
“Siapa sih yang nggak mau punya rumah bagus?” jawab Rida dengan raut wajah meringis. “Tapi kalau untuk jual rumah, kayaknya harus pikir-pikir dulu deh.”
“Kenapa harus mikir-mikir sih?” Mahendra terlihat makin bersemangat. “Nanti kamu sendiri deh yang atur desainnya. Kalau rumah itu dijual, kita bisa bangun rumah mewah di sini. Mau lantai dua atau tiga pun bisa. Percaya deh, nanti kita akan punya rumah termewah di sini. Selain itu kita juga bisa beli mobil."
Rida hanya mengangguk pelan, tak ingin langsung mematahkan semangat suaminya. Memang, rumah warisan ibunya jauh lebih besar dan megah dibandingkan dengan rumah Mahendra yang kini mereka tempati. Rumah ini bahkan masih beralaskan semen acian dan dindingnya hanya dari batako kasar yang belum diplester. Tapi, meski sederhana, Rida merasa cukup nyaman tinggal di lingkungan ini. Para ipar dan mertua cukup ramah dan tak pernah menyulitkannya.
“Jadi, kamu setuju untuk jual rumah itu demi renovasi rumah ini biar lebih bagus dan nyaman?” Mata Mahendra berbinar, penuh harapan.
Namun, Rida menggeleng perlahan.
Mahendra melotot. “Gimana sih tadi setuju sekarang enggak?”
“Lah, kapan aku bilang setuju?” balas Rida dengan nada datar.
Keesokan paginya, ketika Rida tengah sibuk membuat adonan untuk kue, ibu mertuanya datang begitu saja ke dapur. Jarak rumah mereka yang hanya dipisahkan pekarangan dua meter membuat sang mertua bisa masuk kapan saja tanpa perlu permisi.
Rida mendongak sejenak saat mendengar suara langkah kaki. Namun tak menyangka, ucapan pertama yang meluncur dari mulut sang ibu mertua justru begitu menusuk.
“Kukira kamu wanita pintar, tapi ternyata bodoh ya.”
Rida tertegun. Tangannya yang sedang memegang spatula pun terhenti. Matanya menatap lurus ke arah perempuan yang telah melahirkan suaminya itu.
“Maksud Ibu apa ya, datang-datang langsung ngomong kayak gitu?” tanyanya tenang, walau hatinya mulai tidak enak.
Sang mertua duduk sambil menuang teh ke dalam cangkir, lalu menyesapnya perlahan sebelum menjawab. “Mau dibuatin rumah bagus, dibeliin mobil, dan perhiasan malah nggak mau. Itu namanya apa kalau bukan bodoh?”
Rida tersenyum kecil. “Oh, itu? Masalahnya, Bu, duit yang mau dipakai buat semua itu dari jual rumahku. Jelas aku nggak mau lah.”
“Ya nggak apa. Kan nanti yang nempatin rumah ini juga kamu. Mobil juga kamu yang naikin.”
Rida kembali melanjutkan adonannya, tapi kali ini ia tersenyum dengan nada penuh arti. “Maaf, Bu. Sertifikat tanah rumah ini atas nama siapa ya, kalau boleh tahu?”
“Ibu lah,” jawab wanita tua itu tanpa ragu. “Tapi nanti akan menjadi milik Mahendra. Hanya saja belum sempat balik nama atas nama dia.”
Rida menghentikan aktivitasnya sejenak dan menatap sang mertua tajam, namun tetap tenang. “Baiklah, Bu. Aku setuju jual rumah itu, asalkan sertifikat rumah ini nanti balik nama atas namaku. Ingat ya, Bu—atas namaku, bukan atas nama Mas Mahendra.”
Seketika, teh yang sedang diminum oleh ibu mertuanya tersedak keluar dari mulutnya. Raut wajahnya berubah merah padam, antara kaget dan tak percaya dengan permintaan menantunya yang selama ini dikenal penurut.
Rida hanya menatap datar, seolah baru saja membalas satu babak dari semua permintaan yang selama ini hanya berpihak pada Mahendra dan keluarganya.
Baca selengkapnya di aplikasi K-BM APP
Judul : JANGAN ATUR RUMAHKU
Penulis : sitiaisyah9078
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "JANGAN ATUR RUMAHKU"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker