Empat puluh dua hari sudah Luna pergi, namun kesedihan di hati Rumaya masih sama saja. Walau demikian dia tak lantas menyalahkan takdir, dengan ketegarannya setiap malam wanita itu selalu melantunkan doa-doa bersama tangisan rindu.
Sore ini, Farraz melihat wanita itu menggenggam mushaf Al-Qur’an sembari duduk mengarah ke jendela. Hatinya teriris, rasa penyesalan selalu hinggap begitu saja.
“Apa kamu sibuk?” Farraz memberanikan diri untuk bertanya. Wanita berkerudung cokelat susu itu menoleh, lalu menggeleng.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Rumaya terdiam, seperti tak tertarik.
“Saya sedang ingin di rumah, Tuan. Maaf.” Dia berujar sembari menatap langit sore dari jendela.
Namun tiba-tiba Farraz menarik lengannya, membuat wanita itu bangkit bahkan tak bisa menolak kala dibawa melangkah menuju pintu.
“Tuan ....” panggilnya.
“Hanya sebentar.” Farraz berbalik badan, langkah mereka terjeda.
“Tapi saya belum ganti pakaian.”
“Tidak usah,” katanya tertahan sejenak.
“Cantik, kok.” Rumaya langsung menatapnya, namun lelaki itu malah memalingkan pandangan, dan sejurus kemudian membawa Rumaya pergi dari ruangan bernuansa sedih itu.
“Tuan, saya belum meminta izin pada Ibu.”
“Itu urusanku.” Farraz menyahut saat mereka sudah duduk di dalam mobil.
“Tuan?” ucap Rumaya lagi.
“Ya?”
“Boleh kah tidak naik mobil ini?” tanyanya terdengar sedih, Farraz terdiam sesaat, mengerti jika kendaraan mewahnya mengingatkan Rumaya pada sosok Luna yang malang.
Akhirnya Farraz mengangguk, dia memilih mengeluarkan motor vespa kemudian mengajak Rumaya menaikinya.
Kedua sejoli itu pun melesat meninggalkan area rumah, sepanjang perjalanan tak ada yang mereka bicarakan. Rumaya sendiri merasakan sensasi berbeda, ini kali pertama dia menikmati perjalanan dengan kendaraan roda dua setelah beberapa lama tak menungganginya.
Sekitar dua puluh menit, mereka sampai di sebuah tempat perbelanjaan. Namun Farraz bukan ingin mengajak Rumaya shopping, melainkan dia hendak membawanya pada wahana ice skating.
“Tuan ... saya tidak bisa.” Rumaya menolak.
“Bisa!” ucap Farraz tetap kukuh memaksa wanita itu untuk bermain.
Lagi-lagi Rumaya hanya pasrah, lelaki itu menahan senyum kala wanita di hadapannya hanya bisa menurut.
“Jangan takut,” kata Farraz seraya memegangi tangan wanitanya itu. Awalnya Rumaya merasa takut, namun lama kelamaan dia bisa menikmati wahana tersebut, bahkan wanita itu beberapa kali tertawa saat pegangannya dengan Farraz terlepas hingga tubuhnya terjatuh.
Bibir Farraz sendiri sering kali melebar, dia tak henti-hentinya mengajari Rumaya bermain. Karena mereka terus berpegangan, ada suatu waktu ketika kepala Rumaya terbentur dadanya sehingga mereka berhadapan dengan begitu dekat, sampai-sampai Farraz menyadari jika Rumaya teramat cantik dengan tatapannya yang meneduhkan.
“Maaf,” ujar Rumaya setelah tersadar, kemudian mencoba menjauh namun berakhir dengan terjatuh. Farraz yang merasa khawatir langsung mendekat dan memberikan uluran tangannya, mengangkat wanita itu agar kembali berdiri.
“Capek?” tanya Farraz, Rumaya mengangguk, sehingga mereka memilih mengakhiri permainan.
“Tunggu di sini, aku beli minum dulu.” Rumaya kembali menurut, wanita itu kini duduk sendiri di sebuah bangku memanjang.
Sementara Farraz mencoba mencari minuman yang tepat, namun saat dia melihat sebuah gerai kue, lelaki itu langsung saja menghampirinya. Farraz pikir, makanan manis bisa sedikit mengobati kesedihan seorang wanita.
Setelah mendapatkan minuman dan sekotak cookies, Farraz kembali pada Rumaya. Wanita itu masih setia menunggu rupanya.
“Susu cokelat hangat.” Farraz memberikannya sambil tersenyum, walau sebenarnya dia agak kikuk karena tak terbiasa bersikap seperti itu.
“Terima kasih, Tuan.” Rumaya menerima dengan senang hati.
Farraz pun terduduk di sampingnya, lalu menyeruput minuman berbeda dengan minuman yang dinikmati Rumaya ; kopi.
“Ini, dimakan.” Farraz menyodorkan sebuah kotak, Rumaya menoleh dan menerimanya walau sedikit ragu.
Dibukanya kotak berwarna cokelat tersebut. Rumaya langsung tertegun melihat isinya, matanya mendadak berkabut.
“K-kenapa?” tanya Farraz menyadari wanita itu menangis. Namun Rumaya malah semakin terisak.
“Ada yang salah?” tanya Farraz semakin bingung. Rumaya menghapus air matanya dengan ujung kerudung.
“Sebelum pergi ... Luna meminta saya untuk membuatkannya cookies,” katanya dengan suara parau.
“Tapi ... tapi saya belum sempat mengabulkannya,” lanjutnya membuat dada Farraz ikut sesak.
Rumaya menunduk, air matanya bahkan menetes mengenai cookies di dalam kotak. Hati Farraz tersayat-sayat, rasa penyesalan itu kembali hadir, dia berandai-andai jika saja hari itu mengantar Luna sekolah, mungkin semuanya takkan terjadi.
Tanpa berpikir lagi, Farraz menggeser duduknya, lalu meraih tubuh Rumaya dengan cepat, memeluk raga rapuh itu dengan segenap perasaan yang tak bisa dia artikan.
“Maaf ....” ujar Farraz pelan seraya mengeratkan pelukan.
Judul : Makanan Sisa Untuk Anakku
Penulis : Azu Ra
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Makanan Sisa Untuk Anakku"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker