Tahlilan 3
Astaghfirullah.
Bibi berjalan cepat meninggalkanku, sementara aku masih terpaku di tempat, seolah ragaku membeku.
'Ndi cah irengku, Buk...?'
'Ojo diseneni to, Buk... mesakno!'
'Lah, cah ireng kepingin opo?'
Untaian kalimat itu berputar di kepalaku, kenangan yang kembali menyayat. Cah Ireng—panggilan sayang dari Bapak, dan hanya Bapak yang pernah memanggilku begitu.
Keningku berdenyut, dada terasa sesak.
Apa yang sebenarnya terjadi sebelum Bapak meninggal? Kenapa rasanya seperti ada yang tak selesai, seperti ada yang mengajakku menggali sesuatu?
Baiklah, kalau memang harus, akan kucari tahu sendiri.
*
Selepas menunaikan salat subuh, aku memutuskan untuk bergabung bersama ibu dan kerabat lainnya. Aku sempat menuju teras, menyapu sedikit agar tampak lebih rapi. Kursi-kursi plastik yang sengaja diletakkan di luar kubenarkan posisinya satu per satu.
Tak ada alasan istimewa. Hanya ingin menikmati pagi yang tenang dan menyambut matahari dengan hati yang sedikit lebih lapang.
Setelahnya, aku berjalan ke belakang. Dapur sudah tampak bersih dan rapi. Terdengar bunyi dentingan piring dan gelas beradu. Aku melangkah cepat, penasaran. Ternyata di halaman belakang, beberapa kerabat ibu sedang mencuci piring dan membuat api.
Aku melirik ke bawah tangga. Masih banyak kayu kecil dan ranting tersusun. Itu biasanya digunakan untuk menyalakan tungku. Memasak air dan menanak nasi memang lebih sedap rasanya jika langsung dari tungku.
"Eh, Rindu... sini duduk samping Bibi," ucap Bibi Elis, sepupu ibuku.
Aku tersenyum, lalu duduk di bangku kayu tepat di sampingnya.
Tak ada percakapan yang benar-benar intens, hanya obrolan ringan untuk mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung.
"Udah ngisi toh, Ndu?" tanya salah satu bibiku. Aku tersenyum dan mengangguk pelan.
"Iya, Bi. Baru dua bulan... Emangnya udah kelihatan, ya? Ibu aja belum Rindu beri tahu," ucapku sambil tertawa kecil.
"Udah kelihatan dikit, tuh. Duduknya aja udah kayak ibu hamil banget," balasnya sambil terkekeh. Aku hanya kembali tersenyum menanggapinya.
"Eh, Lis. Si Sutinah nggak balik lagi ke sini?" tanya seorang wanita yang duduk di seberang. Aku spontan melirik ke arah Bibi Elis.
"Kurang tahu, wong pulang juga nggak bilang-bilang..." jawab Bibi Elis santai.
“Memangnya Bi Sutinah ke mana, Bi? Bukannya semalam menginap di sini?” tanyaku lirih.
Keduanya saling melirik sejenak sebelum menggeleng bersamaan.
"Nggak kok. Orang dia pulang. Ada kali jam sepuluhan... Katanya sih nggak enak badan kalau nginep."
Deg.
Lalu... siapa yang semalam bertemu denganku?
"Ojo melamun, pamali!" tegur Bibi Elis sambil menepuk pelan pipiku. Aku tersentak, lalu hanya bisa tersenyum tipis.
Bi Elis bangkit membawa serta-merta baskom berisi piring dan gelas yang telah bersih.
Aku masih terpaku di tempat duduk. Ingat kata-kata ibu-ibu tadi pagi, spontan aku menoleh ke belakang. Pandangan mataku tertuju pada rumpunan bambu yang menjulang tinggi, di mana di bawahnya terdapat mata air alami. Air itulah yang biasanya digunakan ibu untuk mengisi bak penampungan di dapur.
Aku memperhatikan dari jauh. Tenang. Hening. Tapi...
Deg.
Astagfirullah...
“Aa—apa itu? Po... po... pocong?”
Belum sempat ku perjelas pandangan, tanganku tiba-tiba ditarik kuat. Panik. Langkah kami tergesa. Aku berlari setengah tertatih, mengikuti gerakan Bi Elis yang kalut.
Brakk!
Kakiku tersandung anak tangga. Tubuhku terhuyung sebelum akhirnya terhempas ringan ke lantai. Pintu dapur dibanting keras dari belakang. Suara napas tersengal memenuhi udara. Bi Elis terduduk di lantai, wajahnya pucat pasi. Aku bersandar di daun pintu, dada sesak oleh napas yang belum stabil.
“Bi... itu tadi...?”
Bi Elis menatapku. Tatapannya dalam, kosong, seperti berusaha menyusun kata.
Tanpa menjawab, ia segera bangkit dan mendekatiku.
"Jangan sampai orang lain tahu, kalau tadi kita melihatnya..." lirih Bi Elis.
Aku terkejut. Ucapannya terdengar seperti bisikan yang hanya ingin kudengar sendiri.
“Bibi juga melihatnya?” tanyaku dengan suara gemetar.
"Iya... Dia bapakmu, Rindu. Dan ini... bisa jadi masalah besar!"
Tok tok
'Buka pintunya, Nduk... Bapak kedinginan ini, loh. Ndang bukak!'
Tok tok!
'Rindu... Cah ireng-e Bapak!'
Pintu digedor kuat. Bahuku bergetar, bukan karena dentuman yang dihasilkan dari ketukan itu, tapi dari tangisku.
“Apa yang membuat Bapak ndak tenang, Pak?”
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Tahlilan 3"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker