KAYA SETELAH MENJANDA
"Naik taksi?" kata Den Yuda saat aku memanggil sebuah taksi yang ada di bandara.
"Iya, masa mau naik Gojek," jawabku sembari terkekeh.
"Mobil?" tanya Den Yuda. Sepertinya tidak suka kami pulang dengan taksi.
"Mobil siapa, Den? Kalau saya mah enggak punya mobil, Den. Saya cuma perawat Eyang, belum mampu beli mobil."
"Bukan! Kenapa tidak pergi sama sopir?" tanyanya lagi.
Enggak tahu kenapa, Den Yuda ini suka sekali bicara dengan suara keras seperti orang marah-marah.
"Sama sopir? Saya dari rumah langsung ke bandara, Den. Jadi enggak ke rumah Eyang dulu."
Aku menggaruk kepala bingung, mengingat lagi ucapan Eyang Mar kemarin sebelum pulang. Eyang hanya bilang, jam 9 pagi aku harus sudah ada di bandara menjemput cucunya. Jadi besok aku datang lebih pagi dari jadwal biasanya, tapi Eyang tidak bilang kalau aku boleh pergi dengan sopir di rumah.
Eyang yang tidak bilang, atau aku yang tidak paham, ya? Aku semakin bingung.
"Dasar tulalit! Bisa-bisanya Eyang memperkerjakan perawat tulalit kayak begini!" Den Yuda mendengkus, kemudian dengan terpaksa masuk ke dalam mobil taksi yang sudah berhenti di depan kami.
Aku menggerutu mendengar celotehannya. Dasar songong. Gampang banget bilang aku tulalit. Huh, sial, kenapa juga kemarin aku berpikir cucu eyang masih kecil, kurang perhatian dan kesepian. Nyesel aku kemarin iba sama cucu keduanya.
*
Sepanjang jalan Den Yuda tidak banyak bicara, pandangan matanya hanya tertuju pada hamparan jalan ibu kota yang bagiku biasa saja. Namun, sepertinya Den Yuda bukan sedang mengagumi, tatapan matanya kosong, seolah-olah mengenang sesuatu yang sakit.
"Aden lapar? Tadi subuh saya sempetin bikin risoles dulu? Aden mau enggak? Saya sengaja bikin buat nyambut Aden, karena saya pikir Aden itu masih kecil, jadi pasti senang dikasih makanan kayak begini," ucapku sembari membuka tempat makan yang aku bawa dari rumah.
Den Yuda tidak menjawab, pandangan matanya masih tertuju pada jendela mobil. Helaan napasnya terdengar sangat berat.
"Aden mau enggak?" kataku lagi.
Lelaki itu menggeleng.
"Tapi, ini enak, loh. Eyang saja suka risoles buatan saya, masa Aden enggak mau nyoba?" Aku memaksa. Dalam hati, kalau Den Yuda tidak mau, risoles ini bisa aku berikan pada pembantu dan satpam di rumah Eyang.
Lelaki itu menoleh. "Kamu berisik, ya?!" katanya ketus.
"Saya, kan cuma nawarin risoles, Den ...." Aku merajuk, sedih rasanya melihat niat baik diterima dengan buruk.
"Saya tidak suka makanan kuno seperti itu. Paham?" jawabnya lagi.
"Oh ... maaf, Den ...."
Aku kecewa, tapi mungkin Den Yuda terlalu lama di luar negeri jadi lupa makanan camilan khas Indonesia.
"Pak sopir mau?" Risoles itu aku tawarkan pada sopir taksi.
"Wah, boleh, Mbak? Kebetulan saya lapar." Wajah sopir itu semringah.
"Boleh, ambil aja, Pak." Itung-itung sedekah, kataku dalam hati.
Den Yuda membuang wajahnya lagi, kembali menatap hamparan jalan yang penuh dengan kendaraan. Sopir taksi membawa satu buah risoles dari tempat makanan yang aku bawa, menggigitnya, dan tidak lama suara pujian terdengar dari mulutnya.
"Enak banget risolesnya, Mbak? Ini buatan Mbak sendiri?" puji sopir itu.
"Hehee ... iya, Pak. Saya memang suka bikin kue kalau ada bahannya di rumah." Meskipun tidak dipuji oleh cucu majikan pun aku sudah senang.
"Beneran, Mbak. Ini enak banget, mana didalamnya ada keju lagi. Kalau dijual saya yakin pasti laku, Mbak."
"Alhamdulillah terima kasih atas pujiannya, Pak." Aku tersenyum senang. Mungkin suatu hari nanti, aku benar bisa jualan risoles.
Den Yuda mengalihkan pandangannya pada tempat makan yang aku bawa.
"Ngomong-ngomong, saya boleh minta lagi enggak, Mbak? Saya jadi ketagihan ...," ujar Pak sopir taksi lagi.
"Bo--" Belum selesai kalimat izin itu aku ucapkan, tempat makan yang aku pegang sudah disambar oleh Den Yuda.
"Risoles ini buat saya, kan? Kenapa dikasih ke orang? Dasar tulalit!"
Aku melongo melihatnya memakan risoles yang aku buat tadi. Bukan hanya satu, tapi bisa habis empat sekaligus.
Bibir Den Yuda tetap merenggut, bibirnya sama sekali tidak tersenyum, tapi entah kenapa aku bisa merasa bahagia melihat risoles buatanku dihabiskan olehnya.
*
Taksi berhenti di depan gerbang rumah Eyang. Aku bergegas turun begitu Den Yuda membayarnya. Syukurlah, aku kira dia tidak punya mata uang rupiah, dan kalaupun ada tidak mau mengeluarkan uangnya karena aku tidak menjemput dengan mobil pribadi miliknya yang ada di garasi rumah Eyang.
Baru aku menutup pintu mobil, aku dibuat tercengang melihat Kang Haris yang tengah berdiri di samping satpam.
Loh ... mau apa Kang Haris ke sini?
Belum sempat aku bertanya, satpam yang sedang menurunkan tas koper milik Den Yuda, berbisik dulu di telingaku, "Saya kira kamu janda, Nan? Ternyata mau rujuk lagi sama mantan, ya?"
"Apa?!" kataku setengah berteriak.
Kang Haris berjalan menghampiriku. "Halo, Sayang. Kenapa kamu enggak bilang mau ke bandara? Tau gitu, bisa Akang anter. Eh iya, ternyata bener kata Bu Sari, hari ini kamu keliatan cantik banget ...," ujar Kang Haris dengan tatapan mata menggebu.
Aku benar-benar shock melihat kedatangannya. "Akang ngapain di sini?" tanyaku sedikit memekik.
"Mau ketemu majikan kamu lah. Bapak cerita, katanya kamu disayang banget sama majikan kamu yang kaya raya itu. Sampai-sampai, sering dikasih barang-barang bagus. Makanya Akang ke sini, mau ketemu majikan kamu."
"Mau ngapain?" kataku sewot.
"Mau memperkenalkan diri, dong. Majikan kamu itu harus tahu siapa suami kamu, jadi kalau nanti dia mau mempercayakan warisannya sama kamu, dia bisa tenang, karena ada Akang yang akan menjaga semua dengan baik. Akang ini, kan, sarjana, pegawai kantoran, beda sama kamu yang cuma lulusan SMU, jadi sudah pasti bisa dipercaya memegang warisan sebanyak apa pun jumlahnya," jawabnya sembari tersenyum lebar.
Demi Tuhan aku muak melihat senyumnya yang ke-pede-an, dan apa katanya tadi? Warisan? Siapa yang mau dapat warisan?
"Dia siapa?" Den Yuda yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku menyela, matanya mendelik tidak suka pada Kang Haris.
Baru aku mau menjawab, Kang Haris sudah lebih dulu bersuara, "Kamu yang siapa? Saya ini suaminya Kinan."
"Suami?" Den Yuda mengerutkan keningnya.
"Iya, suami. Situ siapa? Kenapa tadi pulang bareng sama istri saya?" cetus Kang Haris.
Astagfirullah, aku dibuat geram dengan tingkah bodohnya.
"Dia ini, Den Yuda, cucunya majikan aku! Lagian ngapain Kang Haris ke sini, pakai ngaku-ngaku jadi suami aku lagi? Kita sudah cerai, Kang ... jangan lupa itu. Kita sudah cerai!" kataku menahan gemuruh dalam dada.
Kang Haris terlihat terkejut mendengar ucapanku. "Cucu? Loh, kata Bapak kamu, cucu majikan kamu itu masih kecil, makanya Akang yakin nanti majikan kamu pasti mewariskan hartanya sama kamu," tanyanya seperti orang linglung.
Aku tidak mengerti apa maksud kedatangan Kang Haris ke rumah ini? Dan, kenapa juga dia terus mengatakan soal warisan majikanku?
Satu jariku menunjuk ke arah Den Yuda. "Aku salah. Cucu majikan aku yang ini! Bukan cuma sudah besar, tapi juga sudah tua!"--Den Yuda sontak mendelik ke arahku. Tak peduli dengan tatapannya, aku meneruskan cacian pada pria tak tahu diri ini.--"Jadi Akang jangan sok tahu, apalagi ikut campur soal pekerjaan aku. Cepat pergi sana, jangan lagi berani datang ke sini, karena kita tidak punya hubungan apa-apa lagi!"
"Tunggu ... tapi, kamu tetap ada kemungkinan dikasih warisan sama majikan kamu, kan, Nan?" tanya Kang Haris lagi yang membuat amarahku menjadi.
Aku menggeram mirip jin iprit yang sedang marah. Bola mataku membelalak tajam, kedua tanganku tersimpan di pinggang. "Sontoloyo! Aku ini kerja, bukan cari warisan! Cepat pergi, atau ban motornya aku kempesin!"
Den Yuda melongo melihatku yang sedang marah.
Ah, sumpah, kalau bukan karena Kang Haris, aku pasti sudah tertawa geli melihat ekspresi wajah Den Yuda yang bengong itu
Kang Haris pulang dengan raut wajah kecewa, entah karena pengusiran yang aku lakukan atau hal lain, tapi aku tidak peduli, karena kedatangannya sungguh membuatku malu.
"Mohon maaf, ya, Den. Dia itu mantan suami saya, tapi saya enggak ngerti kenapa setelah bercerai dia jadi segila itu," kataku seraya menundukkan kepala di depan Den Yuda.
"Gaji kamu saya potong 20 persen!" jawabnya ketus.
Aku mendongak kaget. "Loh, kenapa, Den? Apa gara-gara mantan saya ke sini? Tapi, kan, bukan saya yang nyuruh dia datang ...." Aku terkejut, tidak terima.
"Bukan!"
"Terus kenapa, Den?" Aku hampir menangis.
"Karena kamu bilang saya sudah tua!"
Hah?
Pria itu melengos masuk ke dalam rumah, membiarkan aku yang seketika lemas mengingat ucapanku sendiri.
Sudah tamat di aplikasi KBM App
Nama akun: tanianoer
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "KAYA SETELAH MENJANDA"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker