Dua Tahun Tanpa Kaba

Dua Tahun Tanpa Kaba


 "Dua Tahun Tanpa Kabar"


Hujan turun pelan sore itu. Langit kelabu seakan ikut menanggung beban hati Rania. Dua tahun sudah sejak suaminya, Faris, pamit untuk merantau ke Kalimantan, katanya demi mencari nafkah yang lebih baik. Tapi sejak kepergiannya, nafkah tak pernah datang. Yang tiba hanya tagihan demi tagihan utang yang tak pernah ia tahu dari mana asalnya.


Rania duduk di ruang tamu sempit rumah kontrakannya, menatap setumpuk surat utang yang tertumpuk rapi di meja. Matanya sembab. Ia baru saja meminjam beras dari tetangga demi makan malam anaknya yang masih berumur lima tahun, Dinda.


"Bu, Ayah ke mana sih? Kok nggak pernah pulang?" tanya Dinda polos sambil memeluk boneka lusuhnya.


Rania terdiam. Pertanyaan itu sudah kesekian kalinya muncul. Tapi kali ini, jawabannya terasa lebih berat.


"Ayah masih di luar kota, Sayang. Bekerja..." ucap Rania lirih, sambil memaksakan senyum yang tak sampai ke mata.


"Kenapa Ayah nggak telpon-telpon Dinda? Dinda kan kangen..." ucap anak itu pelan.


Air mata Rania tak tertahan lagi. Ia peluk putrinya erat-erat, seolah ingin menyembunyikan dunia yang begitu kejam dari anak sekecil itu.


Beberapa minggu kemudian, sebuah pesan masuk ke ponsel Rania dari nomor tak dikenal. Pesan itu mengubah segalanya.


“Maaf, Bu. Saya istri sah dari Faris. Kami sudah menikah sejak setahun lalu. Tolong jangan ganggu dia lagi. Dia sudah punya keluarga baru.”


Dunia seakan runtuh.


Rania gemetar, tangan lemas, pandangannya buram oleh air mata. Ia menelpon nomor itu dengan suara tercekat. Setelah beberapa nada sambung, suara Faris terdengar di seberang.


“Faris... Ini aku, Rania.”


“Rania, kamu kenapa sih? Masih juga nyari-nyari aku?”


“Aku cuma mau tahu... selama dua tahun ini, kamu... kamu di mana? Kenapa kamu tinggalkan aku dan Dinda?”


Hening. Lalu Faris menjawab, suaranya datar. “Aku punya hidup baru, Ran. Udah, jangan bikin susah. Aku nikah lagi. Maaf.”


"Maaf?" suara Rania mulai bergetar, "Kamu nikah lagi tanpa izin, tanpa kabar... Dua tahun kamu tinggalkan kami. Anakmu tanya tiap malam, kenapa Ayahnya nggak pulang. Dan yang kamu kasih cuma kata maaf?"


"Udah, jangan drama. Aku juga capek. Aku punya tanggung jawab di sini."


"Kalau kamu capek, Faris, aku apa?! Aku yang ditinggal tanpa uang sepeser pun! Aku yang harus jelasin ke anakmu kenapa Ayahnya nggak pernah ada! Aku yang harus bayar hutang-hutang yang kamu tinggalin!" teriak Rania sambil menangis.


Faris hanya diam.


“Dinda... dia cuma pengen peluk kamu sekali aja. Itu terlalu berat, ya?” lanjut Rania, suaranya serak penuh luka.


Klik. Panggilan terputus.


Malam itu Rania menatap langit-langit kamar, mendekap Dinda yang sudah tertidur. Di matanya tak ada lagi air mata, hanya kelelahan dan kesepian yang menusuk.


Ia tahu, ia harus berdiri sendiri. Meski hatinya hancur, ia masih punya alasan untuk tetap kuat: Dinda.


Dan untuk pertama kalinya, Rania berkata pelan pada dirinya sendiri, "Aku cukup. Aku cukup untuk anakku, walau bukan untuk suamiku."


Pagi hari datang tanpa suara. Rania berdiri di dapur kecil itu, menanak nasi dengan sisa beras terakhir. Ia belum tahu besok akan makan apa. Tapi hari ini, Dinda harus tetap sarapan.


Setelah mengantar Dinda ke sekolah, Rania duduk di teras rumah. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi pikirannya sudah lelah. Ia menatap langit, lalu berkata lirih,


"Ya Allah... Kalau ini caramu menunjukkan bahwa aku harus bangkit, tolong beri aku jalan. Aku lelah, tapi aku nggak mau kalah."


Tak lama kemudian, tetangganya, Bu Siti, datang menghampiri.


“Ran, aku denger kabar soal Faris... Maaf ya, aku nggak bermaksud ikut campur…”


Rania tersenyum kecut. “Nggak apa, Bu. Aku juga baru tahu.”


Bu Siti menggenggam tangan Rania, “Kamu kuat, Nak. Tapi kamu nggak harus sendiri. Kalau kamu butuh kerjaan, aku ada kenalan yang butuh pembantu di rumah makan.”


Rania tertegun. Pikirannya bergejolak antara malu dan butuh. Tapi demi Dinda, ia mengangguk pelan.


Hari-hari berikutnya diisi dengan kerja keras. Rania bangun sebelum subuh, menyiapkan sarapan untuk Dinda, mengantarnya ke sekolah, lalu bekerja hingga malam. Tubuhnya lelah, tapi hatinya sedikit demi sedikit mulai membentuk kekuatan yang dulu ia pikir tak pernah ia miliki.


Namun luka itu belum sembuh.


Suatu malam, Dinda menangis di kamar. “Bu... temen-temen bilang Ayah aku udah punya keluarga lain. Mereka bilang aku anak yang ditinggal…”


Rania memeluk Dinda erat. “Dinda sayang... Kamu bukan anak yang ditinggal. Kamu anak yang dicintai. Ayahmu mungkin pergi, tapi kamu punya Ibu. Ibu akan selalu di sini, nak.”


“Kenapa Ayah nggak sayang kita lagi?”


Rania menggigit bibirnya, menahan isak. “Mungkin Ayah bingung, mungkin Ayah belum tahu bagaimana mencintai dengan benar. Tapi kamu... kamu anak paling berharga yang Ibu punya.”


Waktu berjalan. Setahun berlalu. Rania kini sudah menjadi kepala dapur di rumah makan tempat ia bekerja. Ia mulai bisa menabung, membayar utang-utang lama yang ditinggalkan Faris. Meski perlahan, tapi setiap langkahnya terasa seperti kemenangan.


Suatu sore, saat menjemput Dinda, ia melihat sosok yang familiar berdiri di seberang jalan.


Faris.


Pria itu tampak kurus, lusuh, dan berbeda dari terakhir kali ia dengar suaranya. Faris menatap ke arah Dinda yang sedang berlari ke pelukan ibunya.


"Ran..." suara Faris lirih, penuh penyesalan.


Rania berdiri tegak. Wajahnya datar tapi tegas.


“Kamu mau apa ke sini?”


“Aku... aku salah, Ran. Semua salah. Istri baruku pergi, bawa kabur uang. Aku kehilangan semuanya. Aku cuma punya kalian sekarang…”


Rania menatapnya lama. Lalu dengan suara tenang, ia berkata,


“Kamu meninggalkan kami waktu kami butuh. Dan sekarang kamu datang waktu kamu butuh. Tapi aku bukan wanita yang sama, Faris. Aku bukan Rania yang kamu tinggalkan dua tahun lalu.”


“Aku minta maaf... aku mau tebus semuanya…”


Rania tersenyum, pahit. “Kamu nggak bisa tebus luka yang kamu tinggalkan dengan kata ‘maaf’. Aku sudah berdiri sendiri terlalu lama, Faris. Dan aku nggak butuh kamu lagi.”


Faris tertunduk. Tak ada lagi yang bisa ia katakan.


Rania menggenggam tangan Dinda, lalu melangkah pergi tanpa menoleh. Sore itu, angin berhembus pelan, membawa pergi semua sisa-sisa luka yang pernah menghantui hatinya.


Karena Rania tahu, terkadang, kehilangan orang yang salah adalah awal dari menemukan diri yang paling kuat.

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Dua Tahun Tanpa Kaba"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel