[Gani, tumben kamu belum ngirimin u*ng bulanan untuk ibu? Nanti jangan lupa, ya. Soalnya ibu mau ada arisan diamond lagi.]
Baru saja dibahas, aku langsung mendapat chat dari ibu. Padahal setiap bulan aku selalu menyisihkan banyak untuknya.
U*ng bulanan rutin yang aku berikan terhitung bisa untuk membeli sebuah mobil sederhana, tetapi selalu saja kurang.
Apa yang aku berikan selalu tidak cukup untuk memenuhi gaya hidup ibu. Kadang aku berpikir apakah ibu sama sekali tidak mengerti bagaimana susahnya aku mencari u*ng dan mengurus perusahaan selama ini.
Belum sempat kubalas pesan ibu. Aku mendapatkan pesan dari kedua kakakku, mas Wawan dan bang Fikri.
[Gani, mas pengen ganti mobil. Bosen dengan mobil itu-itu saja. Oh iya, istri dan anak mas bulan ini kepengen liburan. Tolong kamu lebihkan jatah bulan ini, ya.]
[Gani, kapan kamu pulang? Kebetulan Abang Fikri ada sesuatu yang pengen Abang bicarakan. Sepertinya bagus kalau kamu punya bisnis properti lagi. Kita bahas tentang bisnis apartemen saja. Jangan khawatir, kali ini Abang akan berusaha mengelolanya dengan baik.]
Begitulah kedua kakakku yang pemalas. Yang mereka pikirkan hanya tentang u*ng saja. Setiap saat yang mereka pikirkan adalah untuk membuat bisnis atau usaha sendiri. Selalu meminta modal besar, tetapi yang membuatku bingung ke mana semua modal yang aku berikan selama ini? Sebab, tak ada satu pun usaha mereka yang berjalan dengan baik.
Padahal Mas Wawan dan Abang Fikri sudah aku berikan posisi bagus di perusahaan, tetapi bukannya membantu keduanya malah korupsi. Aku benar-benar tak habis pikir.
Selama ini keduanya sudah aku anggap seperti saudara kandungku sendiri, begitu pula dengan ibu. Sebab dulu ibu kandungku meninggal setelah aku dilahirkan. Kemudian, mendiang ayahku menikah lagi dengan j4nda dua anak.
Dulu aku berusaha memaklumi setiap kesalahan mereka. Aku masih melihat mereka sebagai keluarga. Namun, setelah aku mengetahui petunjuk tentang penyebab kem*tian Iriana sudah tak ada lagi rasa kasihan untuk mereka.
Jika nantinya ibu dan kedua kakakku itu terbukti terlibat, maka aku tidak akan pernah memaafkan mereka.
Aku sengaja hanya membaca pesan dari mereka tanpa berniat untuk membalas karena ingin tau seperti apa respon selanjutnya.
Sungguh kekanakan. Mereka mengoceh di grup keluarga, bahkan istri-istri mereka pun turut mengomel tanpa sebab hanya karena aku tak membalas chat.
[Maaf. Tetapi aku sedang sibuk. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan kepada kalian semua. Kita adakan pertemuan keluarga malam ini. Kita bertemu di rumah ibu. Kuharap kalian semua datang.]
Hanya itu saja yang aku tulis, tetapi di dalam grup keluarga mereka saling berbalas pesan.
Setelah menyusun banyak rencana dengan Rendi aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah.
Di rumah, Nadiva yang juga membaca chat di grup keluarga mencecarku dengan banyak pertanyaan.
"Sebenarnya ada apa, Mas? Apa ada sesuatu yang begitu penting yang ingin mas bicarakan?"
"Apakah ini soal pembagian warisan mendiang ayah lagi, Mas?"
"Kamu akan mengetahuinya nanti, Nadiva. Aku lelah. Mau istirahat sebentar."
Yang benar saja, kenapa Nadiva bisa-bisanya berpikir bahwa yang nantinya akan aku bahas adalah tentang pembagian warisan ayah.
Hanya aku anak kandungnya di sini. Sudah lama ayah meninggal. Pengacaranya juga sudah membahas surat wasiat terakhir ayah yang menyatakan bahwa akulah yang mendapat 98% aset milik ayah, termasuk perusahaan.
Dulu, mas Wawan dan bang Fikri protes atas semua itu. Namun, setelah pengacara itu menjelaskan bahwa jumlah aset milik ayah yang tersisa tak lebih banyak dibandingkan hutang-hutangnya, mereka urung meminta.
Aku yang mengambil alih perusahaan, maka secara otomatis aku juga yang harus mengatasi setiap masalah yang ada, karena saat itu perusahaan ayah sudah di ambang kehancuran.
"Mas, tadi pagi mama dan papaku ngomong, bahwa ada tanah yang bagus di kampung. Mereka berniat untuk membelinya. Tanahnya luas, bisa buat kebun. Lumayan kan' untuk investasi jangka panjang."
"Heemm."
Tak kutanggapi serius ocehan Nadiva. Entah mengapa yang dikatakan oleh orang-orang di sekitarku adalah tentang uang dan uang.
Sangat jarang bahkan tak ada dari mereka yang bertanya soal kondisiku. Jika ada, kurasa itu hanya sekedar basa-basi saja.
"Bagaimana, Mas?"
"Akan kupikirkan nanti. Aku mau istirahat. Aku lelah."
"Oh begitu. Baiklah. Akan aku minta Bik Nah untuk buatin kamu teh hangat."
"Ya."
Nadiva sangat jauh berbeda dengan Irina.
Irina adalah wanita yang penuh perhatian. Sekalipun kami memiliki ART, tetapi Irina selalu menyempatkan diri untuk mengurus semua keperluanku.
Irina selalu rela bangun pagi untuk memasak makanan kesukaanku. Lalu dia juga selalu menyiapkan segala kebutuhanku, termasuk datang ke kantor hanya untuk sekedar mengantarkan bekal makan siang.
Terkadang aku memintanya untuk tidak membawakan bekal agar kami bisa makan siang berduaan saja.
Tak hanya itu saja, Irina juga bukan termasuk istri yang tak gemar menuntut. Irina tak pernah meminta apa pun dariku. Justru aku yang selalu berinisiatif memberikan hadiah-hadiah untuknya.
Irina tak hanya cantik, keibuan dan pandai mengurus rumah saja, dia adalah wanita yang cerdas.
Walaupun seorang yatim piatu, Irina mampu menyelesaikan kuliahnya di luar negeri dengan gelar cumlaude.
Sebelum menikah denganku, Irina juga memiliki jenjang karir yang cemerlang hingga pada saatnya aku melarangnya untuk tidak lagi bekerja.
Selain itu, Irina adalah wanita yang lemah lembut, tak pernah sekali pun dia meninggikan suaranya padaku.
Semakin sering membahas dan memikirkannya membuatku semakin merindukannya.
Setelah dia menghilang secara mendadak, tanpa sebab, tentu saja aku merasa khawatir. Terlebih setelah beberapa saat kemudian ada banyak kiriman foto tentang perselingkuhannya.
Kala itu aku berpikir bahwa Irina pergi dengan selingkuhannya. Namun, semua tuduhan jahat itu buyar setelah Irina meninggal secara tidak wajar.
Aku sangat mengenalnya. Mustahil seorang Irina berpikir dangkal untuk mengakhiri hidup, karena sebenarnya dia adalah wanita yang tangguh dan mandiri karena mampu menunjukkan kemampuannya walaupun hanya sebatang kara.
"Maafkan aku, Irina. Aku menyesali semuanya. Seandainya dari awal aku tidak menuruti amarah dan emosi, mungkin aku tidak akan menceraikan kamu. Mungkin juga sekarang kamu masih hidup. Maafkan aku."
"Aku memang tak bisa memutar waktu. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa menebus kesalahanku. Tapi setelah ini aku akan mengetahui banyak hal. Irina, hatiku sudah tak lagi meragukanmu. Aku tau, mungkin di sana kamu sudah bisa memaafkan orang-orang jahat itu, tapi tidak denganku. Aku akan mengungkapkan semuanya. Mungkin kamu tak butuh validasi soal itu, tetapi aku ingin membalaskan semuanya. Kamu berhak mendapatkan pembelaan. Setidaknya dengan melakukan itu semua aku bisa sedikit mengurangi rasa bersalahku. Setidaknya juga ada yang bisa aku lakukan untuk memuaskan nafsu amarahku atas kepergianmu, Irina."
Selengkapnya bisa dibaca di aplikasi KBM App dengan
Judul : MEMALSUKAN KEM4TIANKU
Penulis : Dita Arisca
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "MEMALSUKAN KEM4TIANKU"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker