Lanjut

Lanjut


 "Berhenti berpura-pura, Nak. Bangkitlah jika suamimu sudah meny4kitimu." 


ISTRIKU TERNYATA BUKAN ORANG BIASA 


Aku terpaku. Napasku tertahan. Notifikasi itu masih menyala di layar ponsel. Kalimatnya sederhana. Tapi… hangat. Terlalu hangat. Terlalu akrab.


> [Kamu udah makan, Mas? Kalau belum, aku bisa pesankan GoFood sekarang.]


"Mas?"


Aku gumam pelan, seolah berharap suara itu akan menjawab semua pertanyaanku. Tapi yang ada justru degup jantungku yang semakin keras.


Mataku menelusuri layar, tapi notifikasi itu segera menghilang. Layarnya kembali gelap.


Siapa dia? Kenapa nadanya... manis sekali?


Tanganku terulur, ragu. Aku ingin lihat lebih banyak. Tapi ponselnya terkunci.


Tiba-tiba—


KRAK!


Pintu kamar mandi terbuka cepat. Mas Gilang keluar tergesa, sambil menaikkan resleting celananya. 


"Wida! Kamu ngapain dekat-dekat HP-ku?!" bentaknya langsung.


Aku tersentak, buru-buru mundur menyuap nasi di depanku. 


"Nggak... aku cuma lihat ada notifikasi. Aku pikir penting, jadi—"


"Jangan sok tahu! Itu privasi aku!" bentaknya. 


Aku terdiam. Jantungku masih berdetak cepat. Suaraku bergetar. "Mas… aku cuma lihat notifikasi. Bukan buka isinya. Lagipula kenapa Mas langsung marah…?"


“Karena kamu udah mulai kebiasaan! Mau tahu urusan yang bukan bagianmu!”


Aku menatapnya, perlahan. “Kalau nggak ada yang disembunyika, kenapa harus takut kalau aku lihat?”


Dia menatapku tajam. Ada keraguan sesaat di matanya, tapi cepat tergantikan oleh amarah.


“Jangan bawa-bawa perasaan kamu yang labil itu ke urusanku! Kamu lagi stress, capek, itu urusan kamu. Jangan lemp4r ke aku!”


Aku meng-gigit bibirku. “Aku nggak lempar apa-apa, Mas. Tapi sekarang… aku bertanya. Siapa yang kirim pesan itu?”


“Teman kantor. Udah. Nggak usah drama lagi. Emang salah kalau orang ngirim pesan? Pasti karena ada hal yang penting, kan?" 


Nada suaranya naik. Tegas. Tapi tidak menjawab. Justru menghindar.


“Teman kantor yang manggil 'Mas'? Yang tahu kamu belum makan dan mau pesankan GoFood?” tanyaku pelan, mencoba tetap tenang.


“Ya teman! Nggak ada salahnya, kan kalau aku curhat sama temen sendiri. Kamu itu terlalu sensitif. Cemburu buta.”


Aku menatapnya lebih lama. “Mas, aku bukan cemburu. Aku… merasa diabaikan. Aku di rumah ini, berantakan sendirian. Tapi perhatian Mas dikasih ke orang lain. Apa aku masih jadi istrimu, Mas?”


“Jangan balik nyalahin aku! Kamu tuh udah beda! Dulu kamu manis, sabar, pengertian. Sekarang dikit-dikit ngelawan, protes."


“Karena aku lelah, Mas. Dan aku... sendirian. Kamu cuma lihat aku marah. Tapi kamu nggak pernah tanya kenapa.”


Dia mendengus, mengambil ponselnya dari meja. “Udah. Aku capek denger kamu ngoceh. Mending aku makan di kamar saja." 


Aku menahan napas. Tangan kiriku masih perih, perban seadanya di telapak mulai basah oleh d4-rah. Tapi aku tak peduli.


“Mas…” panggilku. 


Dia menoleh setengah hati.


“Kalau suatu hari aku pergi… jangan salahkan aku juga, ya?”


Dia menatapku. Matanya menyipit. “Ngancam?”


Aku geleng pelan. “Bukan. Cuma ngasih tahu, aku juga manusia.”


Tapi dia terus melangkah pergi ke kamar pribadinya, tanpa menoleh sedikit pun. Seolah keberadaanku tak lebih dari angin lalu. Membiarkanku sendiri di meja makan bersama makanan dingin, keheningan yang menusuk, dan perasaan curiga yang makin menyesakkan.


Nasi tetap kusuapi, meski sudah tak berasa apa-apa. Setiap suapan terasa seperti menelan serpihan luka. Air mata jatuh tanpa bisa dicegah, deras dan diam-diam, seperti hati yang perlahan runtuh tanpa suara. 


Aku bisa saja bertahan dalam kekasaran ini, tapi tidak jika aku harus di khianati. 


***** 


Pagi sekali, Mas Gilang sudah rapi dengan kemejanya. Tumben sekali dia tidak menuntutku untuk menyediakan sarapan pagi-pagi. 


"Kamu nggak usah masak. Aku ada rapat di kantor.  Soalnya aku adalah Manajer, jadi aku harus datang lebih awal," ujarnya di depan pintu kamarku. 


Sementara aku masih sibuk menyu-sui Inaya. 


"Tumben, Mas. Apakah teman kantormu yang meminta datang lebih awal?" tanyaku penuh kecurigaan. 


Mas Gilang berdecak. "Jangan ajak aku berdebat pagi-pagi, Wida. Kamu fokus saja urus anak-anak. Jangan ikut campur urusanku. Yang penting kamu terima u4-ng tiap bulan dari gajiku, selesai. Selebihnya jangan ikut campur masalah pribadiku," gusarnya sedikit ketus lalu berlalu pergi meninggalkanku. 


Aku hanya diam. Kata-katanya menggantung di udara, kaku, dingin. Menjawabnya sekarang hanya akan menyalakan api yang tak akan padam. Kami akan bertukar suara, tapi bukan saling mendengar. Hanya dua orang dewasa yang sama-sama lelah, saling menghakimi tanpa benar-benar mengerti.


"Ayah ... gendong ...." rengek Zayyan, menarik ujung kaus ayahnya. Suaranya lirih, tapi penuh harap. Mata bulatnya memohon, seperti sedang meminta dunia.


"Nanti aja, ya. Waktu ayah pulang. Kamu main aja. Jangan terlalu banyak main HP. Ayah pergi dulu," jawabnya cepat, nyaris tanpa ekspresi. Seolah permintaan Zayyan adalah gangguan kecil di tengah daftar tugas yang lebih penting.


Aku mendengar derap langkahnya menjauh, lalu derit pintu yang terbuka dan tertutup kembali. Suara itu seperti penutup dari segalanya. Pintu yang memisahkan kami, bukan hanya secara fisik, tapi juga batin.


Aku menatap ke arah pintu. Mungkin terlalu lama. Mungkin terlalu berharap ia kembali, hanya untuk menggendong Zayyan sedetik saja. Tapi ia tak kembali. Tidak kali ini. Tidak untuk anaknya. Tidak untukku.


Zayyan masih berdiri di tempatnya, matanya mulai berkaca-kaca. Aku ingin meme-luknya saat itu juga, tapi Inaya mulai rewel di gendonganku. Aku harus menidurkannya terlebih dulu.


Perlahan, kutepuk-tepuk pung-gung mungilnya, membisikkan lagu nina bobo yang suaranya pun nyaris tak keluar karena tenggorokanku terasa tercekat.


Anakku yang satu tertidur, sementara yang satu lagi masih berdiri dalam kekecewaan yang belum ia mengerti benar.


Begitu Inaya benar-benar lelap, kubaringkan dia hati-hati di kasur. Kudekatkan selimut tipis ke tubuhnya, memastikan ia nyaman.


Tiba-tiba—


Brak!


"Uwaa.... Bunda ...!!" pekik Zayyan, disusul suara keras benturan yang membuat jantungku seolah berhenti berdetak.


Aku menoleh seketika. Zayyan terjatuh, kepalanya membentur sisi meja. Ia menangis kencang, tubuhnya terguncang kesakitan.


"Kamu kenapa, Nak ...." 


Aku berlari menghampiri, memeluknya erat. Di saat yang sama, Inaya pun terbangun dan menangis keras, terganggu oleh suara dan kepanikan.


Tangisan keduanya memenuhi ruangan. Membuatku tak bisa berbuat apa-apa. 


Aku terduduk di lantai, memeluk Zayyan dengan satu tangan, menggendong Inaya dengan tangan yang lain. Lututku gemetar. Kepalaku pening. Tapi aku tak bisa istirahat. Tak bisa lelah. Tak bisa menangis, meskipun air mataku sudah menyesak di ujung mata.


"Tenang, Nak. Udah nggak sakit lagi, kok," ujarku menenangkan. Lalu, putraku mulai mereda. 


Bola mataku langsung tertuju pada ponselku. Aku harus berbuat sesuatu. 


Sementara itu, Zayyan pun mulai tenang. Putriku juga mulai tenang. 


Aku meraih ponsel di atas meja TV, mencoba menghubungi seseorang yang pasti bisa membantuku dalam masalah ini. 


"Halo, Paman," ujarku menghubungi adik dari almarhum Papa. Orang tuaku sudah meninggal lama. 


Aku pun berkeluh kesah pada beliau, sebab kali ini aku sudah lelah menjalani kehidupanku. Aku pun menceritakan semua yang terjadi, termasuk perilaku Gilang padaku. 


"Kalau begitu, aku kirimkan ART sekarang juga buatmu. Tenang, Nak. Bangkit dan berhentilah berpura-pura." 


Penulis: Linda M

Lanjutannya di kbm app, ya. judul ISTRIKU BUKAN ORANG BIASA

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Lanjut "

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel