KAMPUNG HALAMAN SUAMIKU 10

  KAMPUNG HALAMAN SUAMIKU 10


Dalam hidup, kamu akan bertemu dengan dua jenis orang yang membangunmu dan orang yang menyakitimu. Sedangkan aku? Aku dihadapkan pada dua jenis itu dalam satu orang. Mas Arna.


Di satu sisi, seakan aku miliknya. Tapi di sisi lain, aku bukanlah inginnya.


Banyak yang tak kuketahui tentang pernikahan ini. Tentang suamiku. Tentang pulau ini.


Apa yang sebenarnya terjadi? Apa misteri di sini?


"Madu?"


Itu artinya Danisa juga istri suamiku.


"Iya, Danisa madumu, dan sekarang ia tengah hamil... Bibi harus menyelamatkan dirinya, karena malam ini ritual itu akan diselenggarakan!" lirih Dirga.


Aku menatapnya lamat.


Di ujung sana, para warga menyeret Danisa, diiringi sorak ramai yang menyeru dan menyebut keagungan Nyai.


Astaghfirullah.


"Kita ke pinggir pantai sekarang!" lirih Dirga. Aku meliriknya dan sekilas mengangguk.


"Tapi, Bibi harus menyingkirkan dia dulu!"


Aku terkejut dan segera berbalik. Di belakangku telah berdiri seorang wanita.


"Sriajeng?" lirihku.


Ibu pelayan itu bersedekap, menatapku dengan lirikan yang sulit kuartikan. Aku menelan saliva, menatapnya lamat.


"Tak seharusnya Arna menikahimu," ucapnya tajam.


"Apa maksudmu?" tanyaku. Dirga menggenggam erat jemariku.


"Tak ada... Sebaiknya kamu tidur, atau besok pagi kamu tak akan melihat dunia lagi."


Sriajeng berbalik. Rasa kesal membuatku ingin meraihnya. Satu teriakan mampu membuatnya berhenti dan menoleh kembali.


"Kamu hanya pelayan di sini! Jangan ikut campur urusanku!" teriakku.


Sriajeng menatapku nyalang, tapi tatapanku lebih tajam.


Sebagai seorang pelayan, Sriajeng terlalu banyak ikut campur urusanku, terutama yang berkaitan dengan suamiku. Anehya, kedua mertuaku seolah tak mempermasalahkannya. Pernah suatu malam, aku ingin makan masakan suamiku, tapi tiba-tiba Sriajeng muncul di depan pintu kamar kami.


"Suamimu bukan pembantu. Kau istrinya, kenapa tidak kau saja yang memasak?" ucapnya kala itu.


Mas Arna melepaskan rengkuhannya dariku, cukup kesal karena aku lupa mengunci pintu, sehingga ibu pelayan itu bisa leluasa mengganggu kami.


"Aku memang pelayan, tapi kehadiranku di sini sangat berpengaruh, kau tahu? Bahkan Arna bisa membuangmu ke laut jika aku memintanya!" ucapnya.


Aku menatapnya kesal. Bisa-bisanya ia berbicara seperti itu.


"Dengar, Malayu. Jangan pernah sekali pun membantah atau menghina aku. Kau tak tahu siapa aku! Sekarang, sebaiknya kau selamatkan temanmu sebelum ia mati!"


Degh.


Dirga menarik tanganku. Aku berjalan seraya tetap menatap Sriajeng. Wanita berumur itu justru menarik sudut bibirnya, tersenyum penuh arti.


"Kenapa kita harus pergi? Aku belum selesai memberinya pelajaran!"


Dirga melepaskan jemariku, menguap seakan ucapanku hanya omong kosong. Padahal dia sendiri yang meminta aku menyingkirkan ibu pelayan itu.


"Dia bukan tandinganmu, Bi! Sebaiknya kita selamatkan Bibi Danisa!"


Aku berhenti melangkah, melirik Dirga.


"Apa yang kau ketahui tentang pulau ini?" tanyaku lirih.


"Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat Bibi tak penasaran lagi," jawabnya.


"Jika Bibi ingin bebas dari sini, Bibi harus mencari Ratu Lautan yang mereka sembah, termasuk suami Bibi... Dan Bibi harus tahu cara membunuh Nyai. Baru Bibi bisa bebas!"


Ratu Lautan?


"Maksudmu?"


"Dirga mati di usia muda, Bi, bahkan belum sempat sekolah. Tapi Dirga cukup tahu bagaimana perjalanan pulau ini, seperti cerita ibuku! Ibuku sama seperti Bibi, dibawa Ayah ke sini dengan janji akan hidup makmur. Memang hidup berkecukupan... tapi tidak bahagia," lirihnya.


"Ayah dahulu tak seperti itu kata Ibu. Di kampung Ibu, Ayah begitu sayang pada kami, apalagi saat aku telah lahir. Tapi sayangnya, ketika ibuku dan aku yang masih bayi dibawa ke sini, ayah..."


Dirga menghela napas, aku turut prihatin dengan perkataannya.


"Ayah sering kali berubah, terutama di malam jamuan. Dirinya seakan tak mengenal kami..."


Astaghfirullah.


"Ibu lelah dan ingin pulang ke kampungnya, tempat kehidupan normal seperti manusia pada umumnya. Ibu ingin kembali ke agamanya, ingin hidup seadanya seperti dulu, sebelum Ayah membawanya ke sini!"


Tak terasa air mataku menetes. Ternyata... apa yang kualami juga dialami beberapa wanita di sini? Ya Allah...


"Tapi itu mustahil," lirih Dirga.


"Kenapa mustahil, Ga? Kita punya dermaga, perahu, dan dayung. Meski begitu, kita bisa berdayung dengan tangan ini!" ucapku penuh harap.


Dirga menggeleng pelan. "Apa yang Bibi katakan sudah kami coba. Ibu pernah membawa Dirga kabur tanpa sepengetahuan Ayah. Dan Bibi tahu apa yang terjadi? Perahu yang kami tumpangi ditelan ombak satu tahun lalu..."


Astaghfirullah. Aku menahan napas.


"Aku bersyukur aku selamat... tapi tidak dengan Ibu."


Ya Allah...


"Itu artinya ibumu sudah tiada? Tapi... Bibi melihat ibumu membawa jasadmu malam itu! Di jamuan!"


Dirga menatap mataku lekat, lalu mengusap bulir bening yang menggenang di pelupuk mataku.


"Dia bukan ibuku."


"A-apa?"


"Ibuku ditemukan di bibir pantai dengan perut membesar, padahal nyawanya sudah tak tertolong. Ayah meminta kepala pulau untuk mengadakan ritual perkawinan, agar ruh Ibu ditukar dengan bayi yang dikandungnya."


Aku tercekat. Ditukar?


"Bayi itu bukan bayi Ayahku, tapi bayi hasil perkawinan saat pertama Ibu ke sini. Ia akan dibuahi ketika hendak kabur, agar jiwa raganya dikunci."


Duarrrrrr!


Petir menggelegar di kejauhan.


Dibuahi? Perkawinan?


Apa semua ini sama dengan kejadian yang kualami tadi siang? Akupun mengandung, tapi bayi itu hilang.


Astaghfirullah.


"Lalu ibumu sekarang?" tanyaku, suara hampir tak terdengar.


Dirga menatapku tajam. "Perwujudan dari ruh ibuku, tapi dia bukan Ibu. Ibu akan mengeluarkan lendir dari lidahnya dan memberikannya padaku, agar aku menurut. Itu dilakukan jika aku ingin kabur dengan cara menyelinap di perahu nelayan!"


Aku merinding.


Lendir?


Perutku bergejolak, tubuhku terasa kaku, dan kepalaku berdenyut hebat.


"Lalu lendir apa yang diberikan suamiku?" tanyaku dengan suara bergetar.


Hueekkkk...


Aku memuntahkan segala isi perutku. Dirga terkekeh pelan, lalu mengusap punggungku dengan lembut.


"Lendir itu hanya dihasilkan oleh ruh seseorang yang memiliki hubungan dengan kita, seperti ruh ibuku."


Aku menegang. "I-itu artinya... Ibu bukan ibuku? Dan Ayah penyembah Baisah?"


Denyutan di kepalaku semakin menjadi, dadaku terasa sesak. Ingatan masa lalu menari-nari di benakku, membawa potongan-potongan memori yang selama ini kusembunyikan di dasar pikiranku.


"Jangan pergi menyelam jika tak ingin mati! Makhluk itu akan memakanmu!"


Pantas saja Ibu begitu tahu tentangnya. Sedangkan aku tak pernah bertanya.


BRAKKKK!!


"Bibi, bangun!"

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk " KAMPUNG HALAMAN SUAMIKU 10"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel