(10)
Aku memutuskan resign dan pulang kampung saat tahu ibuku dituduh mencuri emas dan diviralkan. Padahal sebenarnya mereka yang ngutang emas dan tidak mau membayarnya.
***
“Dasar wanita peng0da!” Marisa memaki Widia dengan hati yang memanas.
“Cukup, Marisa! Kau tak berhak mengatai Widia seperti itu. Kita tak ada hubungan lagi dan kau yang memutuskannya,” tegas Fadly.
Marisa bungkam. Dia tahu, rasa cinta itu masih ada untuk Fadly, tapi dirinya tak bisa menerima segala kekurangan lelaki itu. Harta dan pekerjaan Edi menyilaukan matanya.
Wanita harus realistis. Tak bisa makan cinta. Itulah prisip hidupnya.
Sejenak dia mematung, menatap punggung Fadly yang menjauh, mengendong wanita cantik. Masih berhakkah dia cemburu?
“Astaga Marisa, ternyata kau di sini? Mamak cariin dari tadi, kau ngilang begitu saja.” Bu Sumitra mengomel saat melihat putrinya. Dan dia makin kesal karena melihat Marisa memandangi Fadly yang sedang berjalan menjauh sambil menggendong seorang gadis.
“Kau cemburu sama gadis Jakarta itu?” tanya Bu Sumitra.
“Mamak kenal dia?” Marisa menatap bingung.
“Iya, kenal. Waktu dia pertama datang ke sini, sempat tanya mamak di mana rumah Fadly. Kebetulan Mamak papasan dengan dia di simpang. Dia naik mobil, tapi kayaknya hanya sewa deh. Mana mungkin anak orang kaya mau nyamperin laki-laki miskin kayak Fadly,” desis Bu Sumitra.
“Aku tak peduli siapa dia, Mak. Tapi aku rasanya tak rela kalau Bang Fadly secepat ini melupakanku.”
“Ya ampun. Justru itu bagus. Kau ini harus ada harga diri, Marisa. Jaga harga dirimu karena sudah dilamar sama Edi. Jangan sampai Edi dan keluarganya tahu kalau kau masih suka sama Fadly yang pengangguran itu. Bisa-bisa Edi menggagalkan pernikahan kalian lebaran nanti.”
“Iya, Mak,” balas Marisa pelan.
“Harusnya kau senang kalau ada perempuan yang mau sama Fadly. Dengan begitu, hidupmu dan Edi akan aman. Tak ada yang merecoki,” tukas Bu Sumitra. Marisa tak menanggapi. Hanya diam seribu bahasa, berjalan pulang menuju rumah mereka.
*
Di rumah Fadly, Bu Saudah terkejut saat melihat tamu mereka digendong Fadly. Luka di kaki Widia yang putih bersih tampak jelas. “Apa perlu dipanggilkan bidan, Nak? Apa sakit sekali?” tanyanya cemas.
“Gak usah, Bou. Ini tak begitu sakit kok,” ujar Widia.
Fadly memelototi Widia. Bisa-bisanya gadis itu sudah memanggil umaknya dengan panggilan ‘bou.’ Selain pertuturan untuk kekerabatan tertentu, bou juga panggilan seorang istri untuk mertua perempuan dalam adat batak.
“Kok bisa pula lari-lari di jalan? Kayak anak kecil saja.” Fadly mengomel sambil membersihkan dan mengobati luka di kaki Widia dengan betadine.
Gadis yang biasanya manja itu mendadak jaim. Menahan rasa sakit tanpa memperlihatkan mimik kesakitan.
“Rini, lain kali tak usah ajak Widia keluar rumah jauh-jauh. Dia ini anak manja. Dikit-dikit luka. Kulitnya tak sekuat kau.” Gantian Rini yang diomeli abangnya.
“Iya, Bang,” lirih Rini. Dia tahu, saat Fadly marah, lebih baik patuh saja. Jika ada yang mau dijelaskan, setelah agak tenang saja. Lagian, mereka tidak keluyuran. Hanya agak lupa waktu saja setelah membeli makanan untuk buka puasa.
“Sudah sudah. Ayo makan! Sudah azan maghrib,” tukas Bu Saudah.
Rini membantu mengambilkan minuman untuk Widia. Mereka menikmati buka puasa dengan keheningan.
*
Keesokan harinya.
“Kok masih di sini kalian, Bu?” Seorang ibu muda bertanya ketika melewati samping rumah Bu Saudah. Kebetulan perempuan tua itu sedang mencabuti rumput.
“Memangnya mau kemana, Nia?” Bu Saudah bertanya balik. Dia cukup senag karena masih ada yang mau menyapanya setelah video viral di rumah adik iparnya.
“Itu kan si Edi ponakan Ibu. Dia mau akad nikah pagi ini sama Marisa.”
“Hah?” Bu Saudah terpelongo. Mendengar kalau Marisa akan dinikahi Edi lebaran nanti saja sudah membuatnya syok, apalagi ini. Terkesan terburu-buru. Menikah di bulan romadhon. Sangat tidak lumrah.
“Apa Ibu tak diundang?” Nia bertanya sekaligus menduga-duga.
Bu Saudah menggeleng.
“Oh, pantas saja kalau begitu. Yang sabar, ya, Bu. Marisa gak jadi sama Fadly, eh malah ditikung si Edi. Apapun alasannya, aku yakin Marisa bukan perempuan terbaik buat Fadly. Dia akan menemukan jodoh yang tepat.” Nia berucap tulus, lalu pergi.
Bu Saudah melanjutkan kegiatannya untuk bersih-bersih pekarangan. Hatinya masih bertanya-tanya.
Fadly sedang berdiri di dekat jendela dan mendengar percakapan ibunya barusan. Dia juga tak kalah kaget. Kemarin sore masih ketemu Marisa, eh tiba-tiba sudah mau nikah saja.
“Sudah, Bang. Jangan murung begitu. Itu namanya tak jodoh,” ujar Rini yang melihat kemurungan di wajah abangnya.
“Ya, bener. Mungkin saja jodoh Mas Harahap sudah ada di depan mata,” timpal Widia, lalu terkekeh. Sebenarnya takut dengan tatapan tajam Fadly, tapi dia menutupi dengan tawa agar terlihat santai.
“Widia, apa kau tak bisa menjaga maruahmu sebagai perempuan? Kenapa terkesan mengg0daku?”
“Hah? Apa Mas Harahap merasa terg0da? Aku kan tidak berpakaian seksi,” kekeh Widia.
Fadly membuang muka. Wajahnya sudah memerah. Gadis itu makin menguji hatinya saja. Widia bukan tipenya dan sadar diri juga kalau mereka punya status sosial dan adat yang berbeda. Bisa saja Widia hanya iseng saja mendekatinya.
“Ayo ke rumah Marisa, Mas Harahap! Kita akan menyaksikan pernikahan mereka, lalu memberikan kejutan indah,” tukas Widia.
“Enggak. Aku tak akan ke sana,” tolak Fadly dengan tegas.
“Ayolah, Abang harus ikut. Buktikan kalau Abang baik-baik saja meski ditinggal nikah sama kekasih tercinta. Aku dan Kak Widia sudah menyiapkan kejutan untuk mereka. Ini menyangkut nama baik Umak juga, Bang,” Rini menarik paksa tangan abangnya. Fadly hanya bisa pasrah karena pensaran juga, apa kejutan yang mereka maksud.
Lanjut?
Cerita ini udah tayang di aplikasi KBM.
Judul: Ibuku Dituduh Mencuri Saat Menagih Utang
Penulis : Intan Resa
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Ibuku Dituduh Mencuri Saat Menagih Utang"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker