“Bagaimana bisa anak saya punya golongan D4-r4h A sedangkan saya dan suami saya bergolongan D4-r4h O?” seruku pada perawat yang sedang meminta bantuan transfusi D4-r4h untuk anakku yang baru saja mengalami kecelakaan.
Perawat ikut terbelalak, tapi dia menyembunyikan keterkejutannya dengan cepat. “Baik kalau begitu, kami akan berusaha cari di tempat terdekat,” ucapnya kemudian pergi.
Detik itu juga, dunia di sekitarku bergetar. Miko … anakku, tapi kenapa golongan D4-r4hnya berbeda.
Ponselku jatuh, tanganku gemetar, napasku tercekat.
Aku cepat mengambil ponsel lagi dan membuka browser. Cari kombinasi golongan D4-r4h. Hasilnya jelas. Telak. Tidak mungkin.
Belum sempat kucerna keadaan yang ada, tiba-tiba saja perhatianku teralihkan oleh beberapa langkah cepat yang menghampiriku dari ujung lorong.
Mas Nalan, Uma dan ... kenapa Miss Renata ada di antara mereka? Itu wali kelas Miko saat berada di kelas 1.
"Emang b0-d0h ‘kan? Nggak b3cuz jadi ibu! Sekalinya dikasih izin jemput Miko, malah bikin dia ditabrak orang!"
Aku berdiri, tidak menyangka kalimat barusan keluar dari mulut pria yang selalu bersikap lembut, perhatian bahkan memanjakanku.
"Sudah Uma bilang, biar Uma yang jaga Miko, Shana.” Uma mengusap lenganku.
“Ngeyel banget emang! Sok banget jadi ibu, padahal ngurus diri sendiri aja masih butuh bantuan!” imbuh Mas Nalan. “Lihat! Sekali dikasih kesempatan jemput Miko, kamu malah bikin dia masuk IGD! Anj, emang!”
“Mas … itu karena—”
“Kalau salah itu minta maaf, bukannya ngeyel cari pembenaran!”
Tangisku pecah kali ini. Mas Nalan benar-benar tidak seperti suami yang kukenal selama 9 tahun ini.
Uma, ibu mertuaku langsung merangkul dan menenangkanku.
“Makanya, Nak. Uma selalu bilang biar kamu fokus aja kerja. Kamu itu memang belum pantas jadi ibu, nggak punya naluri keibuan dan belum bisa ngurus anak, Shana. Lihat sekarang, Miko yang jadi korban dari keteledoranmu ‘kan, Nak."
Seperti biasa, ibu mertua yang selalu diidam-idamkan temanku itu selalu berkata lembut.
“Sudah, ya, Nak. Kalau urusan Miko, serahin aja sama Uma. Kamu fokus aja berkarir, itu memang sudah bidangmu.”
Umurku sudah 33 tahun, aku seorang pengacara, tapi mereka melabeliku dengan sebutan manja, tidak keibuan dan lebih baik berkarir saja.
Kulihkan perhatianku pada Mas Nalan. Kupegang tangannya dan menjajarinya. "Mas ...."
Dia menoleh, kilat kemarahan terpancar jelas. Aku mencoba untuk menyentuh hatinya dengan lembut. Aku berhasil, dia memejamkan mata dan merengkuh lembut bahuku. Sayangnya, dia mengucap kata yang tidak kuharapkan.
“Pergilah, Shana. Jangan berada di depanku.” Dia membuka mata, menatapku lembut dan melanjutkan kalimatnya. “Maaf, kata-kataku kasar. Tapi kumohon pergilah. Aku nggak mau lihat kamu dan aku mau mengurus anakku.”
“Mas ….”
"Shana, kamu sebaiknya pulang saja. Tunggu di rumah dan jangan memperkeruh keadaan."
Uma ikut mengusir, meski caranya lembut.
"Tapi, saya mau tetap di sini, Uma. Saya i...."
Saya ibunya. Itu kalimat yang ingin kuucap, tapi entah kenapa lidahku kelu begitu saja.
"Pergi, Shana …." Mas Nalan memohon teramat sangat.
“Mas …”
“Harusnya aku memang menceraikanmu dari dulu,” ucapnya sembari membu-wang muka.
Mataku membulat. Jadi selama ini dia punya niat buat ceraiin aku? Kenapa? Apa salahku? Selama ini hubungan kami harmonis.
“Shana … sudah, cepat pulang saja.” Uma benar-benar tidak membiarkanku terlalu lama ada di sana.
Aku mulai beranjak pergi, tapi masih berharap seseorang akan menahanku. Tapi tidak ada. Bahkan Miss Renata pun mengabaikanku.
Lorong rumah sakit sepi. Lampu-lampunya terang tapi dingin. Tak ada suara selain gemeretak langkahku dan isakan yang mulai pecah di tenggorokanku.
Aku berhenti di sudut yang tidak jauh dari IGD.
Punggungku bersandar ke tembok putih yang dinginnya merambat ke tulang. Tanganku menutup wajah, tapi itu tidak bisa menahan tangis yang akhirnya tumpah seperti air pasang yang terlalu lama kutahan.
Seperti mendapat kesadaran singkat. Aku tidak mau mendram4-tisir keadaan ini. Aku tetap harus berada di samping Miko. Aku harus tahu keadaannya.
Sayangnya saat aku kembali, aku mendengar sesuatu yang lebih besar menghantamku.
"Kami sangat butuh golongan D4-r4h A, Pak." Kali ini seorang perawat bicara dengan Mas Nalan. Perawat yang berbeda dengan yang bicara denganku tadi, tapi punya permintaan yang sama.
"Saya, Suster! Saya, ibunya! Golongan D4-r4h saya A!"
Suara Miss Renata seperti peluru yang melesat cepat di dadaku. Telingaku seakan menolak kalimat yang baru diucapkannya.
"Renata! Jaga ucapanmu!" seru Uma.
"Miko memang anak saya, Bu. Apa salahnya saya berkata seperti itu?"
"Tapi jangan sembarangan kamu mengakuinya!" amuk ibu mertuaku.
Aku lemas, berpegang kuat pada dinding.
Apa maksudnya? Kenapa Miss Renata bilang kalau Miko anaknya? Miko itu anakku, D4-r4h dagingku. Kenapa bisa jadi anaknya?
Tapi, Uma membenarkan ucapan Miss Renata. Apa itu artinya dia tidak berbohong?
Dan … kalau Miko benar anaknya, lalu di mana anakku? Anak yang kulahirkan delapan tahun lalu ada di mana?
-Bersambung-
Judul: Hak Asuh
Karya: Lin Aiko
Baca selengkapnya DISINI
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Hak asuh"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker