Dibuang Kerabat Karena M i s k i n

Dibuang Kerabat Karena M i s k i n


 “Nur … Nur … kamu itu istri kepala desa. Harusnya kamu jaga jarak kalau jalan sama anak b a b u. Jangan terlalu baik. Kamu tahu kan orang m i s k i n itu biasanya suka mencuri?”


_Dibuang Kerabat Karena M i s k i n (1)


"Ini anak b a b u di rumahmu ya Nur?" 


Minah_penjual pakaian bekas di Pasar Minggu bertanya pada Bibi Nur saat wanita itu memilihkan pakaian bekas untukku. 


“J e l e k banget ya. D e k i l, hitam, pasti gara-gara sering panasan di kebun,” ejek wanita itu lagi.


Wajahku yang tadi berseri, kini menunduk karena malu. Padahal tadi aku sangat bersemangat saat Bibi Nur mengajakku pergi ke pasar.


Sekilas mengintip wajahnya, kulihat wanita itu bertubvh tinggi besar. Kulitnya putih dengan hidung besar yang agak terlihat aneh akibat svntik silikon yang gagal. Bibirnya dipoles lipstik warna merah cabai. Di lehernya menggantung kalung i m i tasi yang berkilau terang terkena cahaya lampu. Tak lupa pergelangan tangan dan jari-jarinya juga dihiasi cincin e m a s i m i t a s i. 


“Baik banget kamu mau belikan anak b a b u mu baju bekas,” katanya memuji adik perempuan ibuku itu.


“Emang kamu nggak malu jalan sama dia? Sudah d e k i l, b a u lagi,” kata wanita angkuh itu lagi masih dengan tawa mngejek dan merendahkan.


Sesekali dia melirik j i j i k ke arahku dengan pandangan mencem0oh. Lalu tanpa segan-segan ia melvdah ke samping seolah-olah keberadaanku membuatnya m u a l.


“Hueek…!" Wanita penjual itu m e l u d a h. 


Dia mendlik dan memel0totiku yang baru saja menyentuh salah satu baju bekas yang ada di sana. 


“Hei, jangan dipegang. Tanganmu hitam dan kotor. Nanti nggak ada yang beli kalau sudah kau pegang. Jauh-jauh sana B a b u!”


Minah meneriakiku agar menghindar dari deretan pakaian bekas yang dia jual. Menerima d e l i k a n itu, mau tak mau aku pun mundur dan melipir menjauh. 


“Nur … Nur … kamu itu istri kepala desa. Harusnya kamu jaga jarak kalau jalan sama anak b a b u. Jangan terlalu baik. Kamu tahu kan orang m i s k i n itu biasanya suka mencuri?”


Mataku berkaca-kaca. Aku menunduk sembari berharap adik perempuan ibuku akan membela. Sayang sekali, Bibi Nur tidak membelaku. Dia hanya tertawa saat mendengar h i n a a n yang saat ini ditujukan padaku. 


“Aku bukan pencvri. Aku juga bukan anak b a b u."


Karena Bibi Nur hanya diam, aku memutuskan untuk membela diriku sendiri. Aku bukan anak b a b u. Biar m i s k i n Emak dan Bapak juga punya kebun sendiri.


“Tuh kan. Orang m i s k i n memang sering tidak sopan. Lihat, Nur. Dia bahkan berani menyela saat orang tua bicara,” kata Minah semakin meremehkan. 


“Sudah de kil, je lek, ternyata tak punya sopan santun juga!”


Aku menahan genangan air mata yang ingin meluncur keluar. Bibi Nur tetap tidak membelaku. Dia tidak memberi tahu kalau aku adalah keponakannya. 


‘Apa Bibi Nur juga malu mengakui aku sebagai keponakannya?’ Tanda tanya itu memenuhi pikiranku saat ini. 


“Sudahlah, Minah. Namanya anak kecil, biasa begitu,” ucap Bibi Nur. Dia tetap tidak membela dan menegur penjual yang baru saja meremehkan diriku itu.


“Lagian ngapain sih kamu bawa anak b a b u mu ke pasar? Nanti dia bisa keenakan loh. Ingat kata-kataku. Jangan terlalu baik sama orang m i s k i n. Biasanya dibaikin mereka bakal kayak an-jing. Suka menggigit yang ngasih makan, hahahaha …!”


Entah apa yang lucu, Minah kembali tertawa terbahak-bahak. Perutnya yang bvncit dan mencuat di balik kemejanya yang kekecilan kini berguncang karena menertawakan kata-katanya sendiri. 


“Hei kamu anak b a b u, jangan lupa yang sopan sama majikanmu. Kamu harus bersyukur punya majikan baik seperti Nur. kalau aku sih ogah bawa-bawa bocil de kil dan je lek sepertimu!”


“Ya, aku juga enggan ngajakin dia kalau bukan karena butuh, Minah,” cetus Bibi Nur di luar dugaanku.


“Kalau dia ikut, kan dia bisa bantuin bawa semua belanjaanku. Kamu tahu sendiri aku kalau ke pasar pasti belanjanya banyak,” sambung wanita itu lagi. 


Lidahku tercekat. Ternyata Bibi Nur juga tidak mau mengakuiku. Dia juga tidak meralat dan menjelaskan kalau aku adalah anak perempuan dari kakaknya sendiri. Dia pasti malu karena aku dan Bibi Nur seperti bumi dan langit. Tak pantas dan tak sepadan jika aku mengaku sebagai keponakan dari istri kepala desa.


Kupandangi wajah Bibiku itu lekat-lekat. Memang sangat cantik. Nampak awet muda meski usianya sudah hampir 45 tahun. Sebagai istri kepala desa tentu saja dandanannya juga modis. Pakai gamis mahal berwarna biru lembut dengan sepasang gelang dari e m a s putih menghiasi pergelangan tangan.


Lalu aku menunduk memandangi diriku sendiri. Rambut tipis tergerai kusut hingga bahu. Kaos oblong dan celana training kedodoran yang sudah aus dan di setiap ketiaknya sudah ada bekas jahitan berkali-kali. Seakan itu belum cukup menyedihkan, sepasang kaki kecilku juga hanya mengenakan sendal jepit besar yang di sisi kiri dan kanannya sudah disambung dengan peniti.


Wajar kalau Bibi Nur merasa malu mengakuiku. Kalau boleh jujur, aku juga merasa malu dengan dandananku sendiri. Apa hendak dikata, baju yang kupakai saat ini, adalah baju milikku yang paling longgar dan masih layak pakai.


Sekuat tenaga aku berusaha menahan air mata yang hampir luruh. Aku terluka oleh tatapan menghina dan mengjek yang wanita itu tujukan kepadaku. Lebih ter h i n a lagi karena adik perempuan ibuku ternyata tidak berniat untuk membela.


Berkali-kali aku mengerjapkan mataku menahan bendungan hujan air mata yang memaksa luruh. Di usiaku yang menginjak dua belas tahun, aku sudah biasa dilihat dengan pandangan h i n a. Cemo0han dan gvnjingan juga sudah khatam kurasakan. Tapi baru kali ini aku dihina secara langsung di depan mataku oleh orang yang tidak mengenalku maupun keluargaku. Perasaan sedih, marah, dan malu bergejolak dalam dadaku. Namun, apa hendak dikata aku hanyalah anak kecil yang tak berdaya. 


“Jangan cengeng. Dikatain begitu saja nangis,” tegur Bibi Nur. Dia melayangkan tatapan tajam padaku yang nyaris terisak. 


“Nih bawa barang-barang belanjaan saya ke mobil. Kalau sudah nanti lari cepat-cepat ke sini. Masih banyak yang harus saya beli,” kata Bibi Nur kembali memberi perintah.


Baca versi tamat di aplikasi KBM


Judul: Dibuang Kerabat Karena M i s k i n

Baca selengkapnya DISINI 

Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!

  • Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
  • Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
  • Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense

Belum ada Komentar untuk "Dibuang Kerabat Karena M i s k i n"

Posting Komentar

Catatan Untuk Para Jejaker
  • Mohon Tinggalkan jejak sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel