Part 8 -- "Kang, aku mau tanya. Tolong jawab jujur, ya."
Dia menatapku. “Apa, Aisya?”
“Semua ini. Tentang kamu, sikapmu, cara kamu berbicara, bahkan bagaimana kamu menghadapi orang-orang yang memandang kita sebelah mata. Kamu bukan orang bi4sa, kan? Kamu bukan... ‘Bidin’ yang mereka bilang seperti itu.”
Dia terdiam. Tak ada ekspresi panik. Hanya hening sesaat, lalu ia duduk di sebelahku.
“Jadi kamu nggak percaya kalau uang kita dari donasi?”
Aku menggeleng pelan.
Dia menarik napas, lalu berjalan ke lemari kecil di sudut ruangan. Ia menarik keluar map hitam dari balik tumpukan buku, lalu menyerahkannya padaku.
Dengan hati-hati aku membuka isinya.
Beberapa lembar dokumen perusahaan muncul di hadapanku. Semuanya memakai kop surat dari holding besar bernama Wijayanto Group.
Tanganku gemetar mem ba ca deretan nama anak perusahaan di dalamnya—bergerak di bidang konstruksi, properti, logistik, pertanian... dan semuanya bernilai luar biasa.
"Ini... perusahaan besar banget," bisikku.
Dia mengangguk pelan. Kemudian dari dompetnya, ia mengeluarkan K T P.
Namanya tertera jelas:
Bima Abidin Wijayanto
Aku menatap foto di K T P itu. Wajahnya sama, hanya terlihat lebih rapi dan berwibawa.
"Bagaimana bisa, Kang? Aku kenal Kang Bidin sejak kecil. Dari dulu ya seperti itu. Bagaimana mungkin kamu adalah pewaris Wijayanto Group?"
Dia tersenyum. “Aku memang sengaja menyembunyikan identitasku, Aisya.”
“Kenapa?”
“Agar aku bisa hidup be bas... dan tahu siapa yang benar-benar tulus.”
Sore itu, suara mobil pick-up berhenti di depan rumah. Aku keluar bersama Kang Bidin yang membawa struk pembelian. Dari mobil itu, diturunkan satu unit motor matic putih mengilap, masih terbungkus plastik pelindung.
Beberapa tetangga langsung menyembul dari balik pagar dan jendela.
“Wah, itu motor baru ya?”
“Kinclong banget. Dari mana, ya, Aisya bisa beli?”
Aku pura-pura tidak peduli. Tapi bisik-bisik mulai terdengar. Baru saja mobil pick-up itu pergi, dari arah gang datang sosok yang selama ini paling sering mengkritikku—Mbak Nana.
Dengan langkah cepat dan ekspresi khasnya, ia bersuara lantang.
“Pantesan be tah sama dia. Ternyata orangnya banyak rezeki.”
Aku menahan diri. Tapi sebelum aku menjawab, terdengar suara lain menyahut dari arah kanan.
“Sekarang HP-nya Aisya iP , lho. Yang seri tinggi.”
Aku menoleh. Bu Reni berdiri di sana, dengan tatapan ta-jam namun tersenyum. Beberapa ibu lain ikut bersuara.
“Jangan-jangan… ada sesuatu di balik ini semua?”
“Aneh juga ya, nggak kerja, tapi rezekinya deras…”
Aku hampir bicara, tapi Kang Bidin sudah melangkah maju.
“Betul. Rezeki saya memang luar biasa. Tapi rezeki terbesar saya adalah istri yang selalu mendukung, walau dia tidak tahu siapa saya sebenarnya.”
Hening. Semua diam.
“Rezeki itu datang karena kapasitas dan ketulusan,” lanjutnya. “Dan Aisya pantas menerima semua ini karena dia tidak pernah menilai saya dari penampilan.”
Aku tersenyum, menatapnya penuh syukur.
Kami naik motor bersama, meninggalkan pan-d4ngan heran di belakang. Di jalan kecil itu, untuk pertama kalinya aku merasa... bebas.
Hari Minggu, undangan keluarga datang lewat grup WhatsApp. “Reuni keluarga besar. Wajib hadir semua!”
Aku sempat ragu untuk datang, tapi Kang Bidin berkata pelan, “Datang saja. Kita bukan siapa-siapa, tapi kita juga tidak menyakiti siapa pun.”
“Masih seperti ini penampilanmu… nanti jadi b a-han omongan.”
Dia tertawa. “Yang penting bukan tampilannya, tapi isi hatinya.”
Aku mendesah, “Sampai kapan kamu menyembunyikan jati dirimu?”
“Ciee… sekarang manggilnya ‘Mas’…”
Aku pura-pura manyun. Dia tertawa.
Siang itu kami sampai di rumah mewah milik Bibi Rukmi—adik ayahku yang menikah dengan pengusaha sukses. Begitu kami masuk, semua mata memandang.
Ibuku, ayah, dan Mbak Nana hanya melirik tanpa senyum. Wajah mereka kaku.
“Kalian ke belakang, ya,” ujar Tante Nia. “Tolong bantu susun makanan.”
Kami langsung menuju dapur. Aku tak heran. Sejak dulu, aku dan suamiku dianggap ‘kelas ba wah’ dalam keluarga.
Sambil menyusun kue, terdengar tawa dari ru4ng depan. Mereka bangga menyebutkan jabatan dan ga-ji.
“Aku kerja di procurement, gaji lumayan lah!”
“Divisi keuangan, dapet tunjangan juga!”
Nama Wijayanto Group terdengar berkali-kali disebut dalam pembicaraan mereka.
Aku melirik suamiku. Ia diam, hanya tersenyum tipis sambil mencuci piring.
Mereka tidak tahu... bahwa lelaki yang mereka pandang sebelah mata ini—adalah pewaris sah dari tempat mereka bekerja.
Dan aku bertanya dalam hati…
Sampai kapan seseorang akan direndahkan hanya karena penampilannya, tanpa pernah tahu siapa dia sebenarnya?
—
📝 selengkapnya KBM App,
judul: "Suamiku Kurang Waras"
Author;; Nurudin Fereira
---
Dapatkan Tips Menarik Setiap Harinya!
- Dapatkan tips dan trik yang belum pernah kamu tau sebelumnya
- Jadilah orang pertama yang mengetahui hal-hal baru di dunia teknologi
- Dapatkan Ebook Gratis: Cara Dapat 200 Juta / bulan dari AdSense
Belum ada Komentar untuk "Suamiku Kurang Waras"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker